Oleh Desideratus Mariano
Amdingsaputro *
I.
Pengantar
Perantauan adalah fenomena yang telah lama dihidupi masyarakat Indonesia,
lebih khusus lagi dalam kehidupan masyarakat NTT. Realitas perantaun seakan
menjadi budaya yang telah dihidupi sejak zaman dahulu dan makin popular di
zaman sekarang. Kalau kita mau menghitung mundur ke
belakang, sebenarnya banyak sekali orang Flores yang memilih merantau di daerah
lain. Kebanyakan ke Jawa dan Bali. Namun, tak sedikit juga
yang merantau ke Kalimantan, Papua, Sulawesi, Sumateta bahkan jauh ke negeri
Jiran sana. Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri mengapa harus
meninggalkan tanah kelahirannya. Memang merantau sebenarnya bukanlah keinginan
setiap orang sejak kecil. Namun karena ada beberapa hal yang kemudian membuat
orang Flores, “terpaksa” pergi meninggalkan Flores dan merantau ke luar.
Hal mendasar yang
mendorong orang untuk merantau adalah untuk mengadu nasib dan mencari
kesuksesan. Atas dasar inilah maka kebanyakan orang meninggalkan sanak
keluarga, kampung halaman dan mengadu nasib di tanah rantau. Perantauan yang
pada awalnya merupakan sebuah usaha luhur kini telah mengalami pergeseran.
Salah satu hal utama yang disoroti yaitu menurunnya moral manusia. Sejauh ini
kita dapat melihat bahwa banyak kasus yang menimpa para perantu kita. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik harus menanggapinya secara serius. Gereja harus peka
melihat realitas seperti ini. Karena persoalan ini mengancam keutuhan keluarga Katolik.
II. Memahami Fenomena Perantauan
2.1 Makna Perantauan
Term perantauan berasal
dari kata “rantau” yang berarti daerah diluar daerah/ negeri sendiri. Perantauan
berarti negeri tempat orang mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang
berasal dari daerah lain. Kata kerja merantau berarti pergi ke daerah/ Negara
lain untuk mencari penghidupan. Pelakunya disebut perantau. Golongan orang-orang yang
meninggalkan kampung halaman dan menuju ke tanah rantau dapat dibedakan menjadi
dua golongan. Pertama, golongan
terpelajar. Mereka ini merupakan golongan yang terdiri dari para remaja yang
berangkat ke tanah rantau dengan motif untuk studi atau specialiced training. Kedua, Golongan perantau yang tidak memiliki keterampilan yang
memadai. Mereka rata-rata berekonomi lemah dan berpendidikan minim saja.
Para perantau Indonesia
yang berada di luar negeri, khususnya yang tersebar di beberapa Negara asia
lebih dari dua juta orang termasuk pekerja ilegal. Mengadu kesuksesan di tanah
rantau bukanlah hal yang mudah dan selalu berhasil. Kadang pula para perantau
harus bergulat dengan penderitaan fisik dan batin. Daerah rantau kadang
menjadikan mereka sebagai sasaran perlakuan buruk, hak asasi mereka diinjak-injak
dan tidak mendapat perlindungan hukum. Lebih sadis lagi mereka diperlakukan
semena-mena oleh majikan mereka.
2.2 Alasan dan Tujuan
Perantauan
2.2.1 Aspek Ekonomi
Berdasarkan
fakta, mayoritas masyarakat Flores bermata pencaharian sebagai
petani. Masalah yang paling mendasar bagi keluarga-keluarga Flores adalah
kemiskinan dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat. Di saat kebutuhan
harian makin meningkat, di saat itu pula kemiskinan terus menanjak. Sebuah
perbandingan yang sangat menyiksa masyarakat Flores. Jumlah pendapatan yang
diperoleh justru berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Semakin tinggi
dan banyak pendapatan yang diperoleh, semakin banyak juga kebutuhan harian
dengan tingkat harga yang melambung pula. Pergerakan ekonomi di daerah lain bergerak
jauh lebih cepat dari pergerakan ekonomi di daerah Flores. Kemiskinan ini
menutup dan mengekang semua lapisan masyarakat Flores, tanpa kecuali. Hampir
tidak ada satupun golongan masyarakat Flores yang berada di luar lingkaran
kemiskinan, kecuali para pejabat. Kemiskinan seakan
menjadi “duri dalam daging” bagi masyarakat Flores. Di tanah yang gersang,
dengan tingkat pendapatan yang kecil, orang-orang Flores masih harus berjuang
untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian mereka. Sungguh sebuah
keadaan yang sangat memprihatinkan.
Kemiskinan ini
berdampak langsung terhadap kurangnya infrastruktur memadai di Flores dan
meningkatnya angka pengangguran di Flores. Bicara soal infrastruktur, Flores
kalah segala-galanya. Sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pemerintahan,
semuanya sangat minim. Tak ada toko buku yang bisa diakses dengan mudah. Tak ada rumah sakit dengan pelayanan prima. Sungguh sangat menyedihkan,
mengingat daerah terpencil seperti Flores, harusnya membutuhkan pembangunan di
bidang infrastruktur. Keadaan ini sungguh terasa menyedihkan karena mayoritas
masyarakat Flores sangat merindukan infrastruktur yang memadai dengan kemudahan
aksesibilitasnya. Lain infrastruktur, lain pula soal pengangguran. Pengangguran
itu adalah hasil “perkawinan” antara kemiskinan yang meningkat dan lapangan
pekerjaan yang terbatas. Seperti itulah keadaan di Flores. Di saat kemiskinan
dan angka kelahiran yang terus meningkat, lapangan pekerjaan malah semakin
menipis. Satu-satunya pekerjaan yang membuka lowongan rutin tiap tahun hanyalah
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, akibat dari kurangnya pendidikan masyarakat
Flores kala itu, PNS pun tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk ‘berlabuh’.
Di saat yang bersamaan, PNS sudah dirasakan tidak mampu menjawabi zaman yang
semakin cepat berlari ke depan. Generasi muda di NTT seolah kehilangan masa
depan. Mau merantau, tak punya duit. Mau bekerja, tidak ada lapangan pekerjaan
yang memadai. Pun tak ada industri-industri kreatif yang berkembang di Flores.
Alhasil, generasi muda Flores lebih mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan,
di pinggir (dekker) jembatan, duduk bergerombolan, menenggak minuman keras dan
akhirnya menciptakan berbagai keresahan di tengah masyarakat.
Kemiskinan dan
pengangguran ini semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas sektor
unggulan di Flores, yaitu pertanian. Banyak orang bilang Flores itu hanya cocok
untuk pertanian. Sayangnya, pertanian itu identik dengan kemiskinan. Apalagi,
saat ini, pertanian dirasa sudah tidak kontekstual lagi, tidak mampu menjawabi
tantangan zaman. Lihat saja, berapa banyak generasi muda yang kuliah dan
mengambil mata kuliah pertanian? Berapa banyak anak-anak muda Flores, yang
setelah selesai kuliah, kemudian kembali dan mengembangkan kebun milik orangtuanya?
Sangat kecil jumlahnya. Mau sampai kapan Flores bertahan dengan pertanian
subsisten, sementara masyarakat luar sudah mulai berkembang dan maju dengan
ilmu-ilmu terapan lainnya? Dunia itu terus berubah. Di dalam sebuah dunia yang
dinamis, stagnasi bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Alasan-alasan
ekonomi inilah yang akhirnya memantapkan
orang-orang Flores mengambil keputusan untuk memilih jalan merantau. Mereka
hanya mau keluar dari jerat kemiskinan yang ada. Bukankah seorang anak harus
bercita-cita menjadi lebih baik dari orangtuanya?
2.2.2 Aspek Sosio Kultural
Selain masalah ekonomi, kondisi
sosio-kultural pun turut mempengaruhi orang-orang Flores memutuskan meinggalkan
tanah Flores. Pertama, terlalu kuatnya adat
yang mengekang masyarakat Flores. Orang Flores itu terkenal memegang teguh adat
istiadat yang ada. Sayangnya, hal ini justru membuat orang
Flores semakin “mengkultuskan” adat istiadat. Sedangkan dalam sebuah dunia yang
modern, kita perlu untuk sesekali “meninggalkan” adat istiadat yang terlalu
mengekang. Jika adat istiadat dirasakan tidak membawa masyarakat Flores ke arah
kesejahteraan, kenapa harus tetap dipertahankan? Bukankah adat istiadat harus disesuaikan dengan perkembangan zaman? Setiap acara atau ritual adat maupun
keagamaan di Flores, hampir pasti ada saja yang dikorbankan. Entah itu kerbau,
sapi, babi, anjing, beras, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Semua ini tentunya mempunyai harganya masing-masing. Kadang, untuk sebuah urusan
adat, orang Flores harus berhutang. Sederhananya, gali lubang tutup lubang. Kedua, Flores masih kental dengan nilai-nilai primordialisme.
Walaupun berada dalam satu pulau, orang Flores masih terkotak-kotak dalam
perbedaan suku, kabupaten maupun bahasa. Di dalam sebuah dunia yang terus
berkembang, primordialisme kadang menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana mau
maju kalau perjuangan menuju kemajuan itu masih dilakukan daerah per daerah
atau golongan per golongan? Satu yang aneh adalah, jika berada di luar Flores,
orang Flores bersatu sebagai satu Flores. Itu pun masih terbatas dalam hal-hal
tertentu. Namun, di dalam Flores sendiri masih terjadi berbagai konflik atas
nama suku dan daerah.
2.3 Dampak Perantauan
Salah satu dampak
positif dari perantuan ialah meningkatnya pendapatan bagi keluarga asal
perantau. Kita lihat saja kehidupan nyata yaitu bahwa seseorang rela menjual
segala macam harta misalnya saja tanah, ternak dll, hanya untuk bekal menuju
tanah rantau. Semua ini tidak mereka perhitungkan, yang penting bisa merantu. Rupanya
tanah rantau telah menjadi “firdaus” yang indah dan diidam-idamkan serta
menjadi tanah terjanji bagi mereka.
Selain dampak positif, muncul pula
dampak-dampak negatif dari perantauan. Pertama,
seorang suami yang merantau harus meninggalkan anak-istri di kampung
halamannya. Konsekuensi dari hal ini, istri dan anak harus menghidupi diri
sendiri. Situasi kesendirian ini dapat melahirkan hilangnya rasa tanggung jawab
dan kesetiaan dari suami-istri. Juga membuka ruang bagi terciptanyan dampak
negatif seperti perselingkuhan dan ketidakseimbangan perkembangan anak.
Biasanya sang istri yang ditinggalkan akan merasa sungguh tertekan bila sang
suami yang sudah lama merantau tidak memberikan kabar berita kepadanya.
Berbagai isu dan gosip mulai berkembang bahwa sang suami telah mempunyai istri
lagi di tanah rantau. Hal ini tentunya menyebabkan keretakan dalam rumah
tangganya.
Kedua,
dampak lain dari perantauan yaitu aktivitas kemasyarakatan orang desa dan
keagamaan didominasi oleh kaum perempuan. Tidak heran bila yang selalu
menghadiri perayaan kebaktian agama didominasi oleh kaum wanita. Ketiga, problem moral. Kemajuan industri
di tanah rantau memacu deviasi moral. Pergaulan bebas, free seks, hamil di luar nikah, narkoba, perjudian menjadi fenomena
buruk bagi para perantau.
2.4 Dampak Perantauan Bagi Keluarga
Dampak dari perantauan telah merasuk
jauh kedalam kehidupan keluarga. Praksisnya dalam keluarga tidak ada lagi kepala
keluarga. Padahal dalam kehidupan masyarakat kita, eksistensi kepala keluarga
sangat menentukan keberadaan sebuah keluarga. Sama halnya dalam doktrin
Kristiani, ditandaskan bahwa perkawinan dimaksudkan agar mereka yang terlibat
mempunyai anak, diberkati dengan perhatian dan mendidik mereka demi kehendak
Allah, demi pujian dan kemuliaan. Dalam keluarga perantau,
tujuan perkawinan untuk mendapat dan mendidik anak demi kehendak dan kemuliaan
Allah bukan menjadi ideal pertama. Anak berkembang dalam asuhan ibunya maka
mereka hanya mengenal ibu. Tidak akan ada kemesraan antara bapak dan anak sama
seperti antara anak dan ibu. Kadang pula terjadi sang ayah yang baru pulang
dari perantauan melihat anak gadisnya bukan lagi dengan naluriah kebapaan namun
lebih pada naluri yang pada akhirnya menuju inses.
Tidak adanya relasi seksual secara
normal dalam jangka waktu yang panjang, dapat berakibat fatal bagi istri
sebagai pihak yang dikorbankan, dan bagi keutuhan keluarga. Sang istri akan
mengalami tekanan psikis sehingga sering terjadi sang istri jatuh ke tangan
laki-laki lain. Karena tuntutan biologis dan tak pastinya pengiriman uang,
terpaksa dia menerima laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab.
III. Peranan Gereja Menghadapi Iklim Buruk
Perantauan
Fenomena perantauan yang kian
meningkat dan memburuk telah menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak.
Dalam hal ini gereja pun juga harus turut berpartisipasi dalam menanggapi
masalah ini. Membengkaknya jumlah perantauan merupakan salah satu bukti bahwa
manusia salah menggunakan kebebasan. Mengapa hal ini terjadi? Karena zaman
sekarang yang mendorong seseorang untuk merantau bukan hanya karena motif
mencari nafkah, namun juga karena orang merasa tergiur dengan pesona kota-kota
besar.
3.1 Pastoral Keluarga dalam Menghadapi
Fenomena Perantauan
Maraknya fenomena perantauan menjadi
tantangan sekaligus peluang untuk berpastoral secara baru. Gereja harus
berjuang keras menghadapi situasi konkret ini. Gereja harus berani turun dan
mulai berdialog dengan umatnya, terutama umat-umat dari golongan kecil dan
miskin, gereja yang sungguh lokal dan mempribumi, berdialog dengan semua orang
khususnya orang miskin. Gereja atau agen pastoral
harus menyokong pengentasan kemiskinan dan harus memelihara nilai-nilai otentik
dari kepribadian atau kehidupan keluarga.
Berhadapan dengan fenomena perantauan,
Paus Yohanes Paulus II menyerukan
suatu usaha pastoral yang lebih siap, bijaksana dan arif menurut teladan
gembala yang baik bagi keluarga-keluarga yang diluar kemauan mereka atau
keadaan sulit lainnya harus bergulat dengan situasi yang sulit. Maka dari situ,
sikap pastoral gereja yaitu, memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga akan
dampak negatif dari perantauan, misalnya melalui kegiatan katekese dan
pembinaan iman lainnya. Ada dimensi penting yang perlu dipersiapkan sebelum
merantau. Untuk itu gereja harus berperan dalam penanaman nilai spiritual ke
dalam diri para perantau. Gereja harus memberikan pemahaman dan peneguhan iman
bagi anggota keluarga perantau, khususnya kesetiaan anggota keluarga yang
ditinggal pergi.
IV. Penutup
Realitas perantauan
dewasa ini menjadi hal yang sulit untuk dibendung.berbagai realitas kelam di
tanah perantaun tidak mengurangi kemauan untuk merantau. Memang banyak orang
yang menuai keberhasilan di tanah rantau, namun selain itu pula pelecehan moral
juga tumbuh secara subur karena perantauan. Salah satu dampak utamanya yaitu
bagi kehidupan berkeluarga. Keutuhan keluarga kadang mulai mengalami keretakan
akibat tindakan ini. Berhadapan dengan situasi seperti ini, gereja harus mulai
menunjukan keberpihakannya dalam menyelamatkan umat manusia. Karya pastoral
gereja sesungguhnya harus secara langsung menyentuh umat yang mengalami
fenomena tersebut. Tidak semua perantau mengakhiri ziarah migrasinya dengan
membawa kesuksesan. Ada yang secara material sukses namun gagal secara
spiritual, atau pun sebaliknya. Untuk itu mereka perlu ditolong. Siapa yang
harus menolong? Yang pasti bahwa siapa saja dapat menolong untuk penemuan diri
utuh secara jasmani dan rohani.
·
Calon Imam Keuskupan Maumere