Laman

Kamis, 21 Juni 2012

I B U IBARAT BUDAk UPAHAN (SEBUAH KEGELISAHAN SANG BOCAH)


ketika ziarahku kian panjang, ketika pancarianku kian dalam, tatkala tatapanku makin jauh, kucoba untuk kembali mengingat sesuatu yang terlupakan. Aku lupa dia yang telah menghidupi aku, aku lupa dia yang telah membuat aku berada dan aku lupa dia yang telah menjadikan aku seorang anak manusia. Dialah ibuku. Dialah yang telah kucampakan dari ingatan, dialah yang telah kukuburkan dalam tapak-tapak ziarahku yang panjang tanpa makna. Kini aku sadar bahwa aku sadar. Kini aku ingat bahwa aku ingat. Aku ingat bahwa aku lupa akan dia yang telah menjadikan aku ada dan hidup.
          Bila aku jujur dengan diriku, aku tak akan hidup dan ada tanpa kasih seorang ibu. Ibu telah memilih dirinya yang terbaik bagiku. Sungguh, Aku dikandungnya tanpa menyesah. Aku dilahirkan dalam pergulatan penuh pasrah. Aku dibesarkan dengan kehangatan cinta yang tak terbatas. Seluruh hidupku adalah buah dari penderitaan yang ditanggungnya, buah dari keringat dan darah yang tak berupah, buah dari jerih lelah yang tak menuntut balas, buah dari pengorbanan yang tanpa syarat.
          Ibu hanyalah setitik kecil dari semestaraya. Walaupun demikian dari dialah kehidupan menjadi nyata. Dialah titik kecil yang telah membuat dunia berwajah. Mungkinkah ada kehidupan tanpa ibu? Mungkinkah ada kelahiran tanpa ibu? Ibu adalah segalanya bagiku. Dia telah menunjukaan cintanya yang mahaluas. demikianlah cinta yang sama mesti saya sebarkan kepada sesama yang membutuhkan. Sama seperti ibu tidak hidup untuk dirinya sendiri demikianpun aku mesti hidup untuk oranglain. Memang aku adalah aku, tapi aku tak bisa ada tanpa si dia, mereka, kamu dan anda, tanpa sesama. Keberadaan yang lain selalu hadir untuk menegaskan bahwa aku ada. Aku adalah perluasan dari keberadaan sesamaku. Tanpa  sesama aku tak akan pernah hidup dan ada. Dia yang lain yang menegaskan keberadaanku pertama-tama adalah ibuku. Mungkin orang mengatakan bahwa aku tidak berarti, ada atau tidak sama saja tetapi ibuku pasti orang pertama dan terdepan, hadir untuk menegaskan keberadaanku. Dia hadir untuk menegSKAN BAHWA AKU BERARTI SEKURANG-KURANG BAGI DIRINYA. Dia akan melihat aku tidak hanya sebagai anak tetapi juga sebagai buah kasihnya, mutiaranya yang berharga. Dia menjaga dan mearwat aku siang dan malam. Tiada hari tanpa kasih yang ia beri, tiada hari tanpa cinta yang ia sebarkan. Aku sungguh sadar bahwa seluruh diriku seutuhnya terbentuk oleh kasih itu. Dalam kasih itulah aku sadar bahwa aku adalah anaknya. Sama seperti adanya ibu mengaskan keberadaanku demikian pula kehadiranku untuk menegaskan keberadaan ibuku. Selain itu kehadirankulah yang membuat nama ibu selalu disebut. Ketika aku menyebut nama ibuku sebenarnya aku ingat akan asal keberadaanku.
          Ibu, kau manusia yang paling luhur dan mulia. Kau diciptakan bukan dari debu tanah seperti manusia pria, Adam. Kau diciptakan dari tulang rusuk sang pria. Debu simbol kerapuhan dan tulang simbol kekuatan, keuletan. Apabila manusia pria atau ayah bekerja sehari perlu istirahat engkau ibu sembilan bulan mengandung, memikul, menjaga dan merawat aku yang sedang bertumbuh dalam rahimmu yang kudus. Engkau bekerja  siang dan malam, baik suka maupun duka. Bila aku menangis disaat aku masih bayi engkau menimang, menggendongku. Bila aku sakit engkau yang pertama merasakan sakitku. Bila aku lapar engkau memberi air susu yang keluar dari sumber tubuhmu. Hidupmu seutuhnya dipersembahkan bagiku buah kasihmu yang sedang bersiarah menuju dunia fana dan akhirnya kau antar menuju dunia kekal. Sejak dalam kandungan kau mempersiapkan aku untuk bisa menerima, mengalami dunia baru, dunia yang syarat dengan kekerasan, dunia yang memangsa tanpa rasa salah, dunia yang angkuh tanpa sesal, dunia yang ganas tanpa belaskasihan, dunia yang beringas tanpa cinta, dunia yang bejat tanpa tobat. Namun engkau yakin bahwa segalanya akan berkahir bila kasih menguasai, bila cinta merajai, bila keadaban dihidupi, bila kekerasan dibalut kedamaian, keangkuhan diselimuti kesetiakawanan, keganasan diselubungi keramahan, beringas ditudungi kelembutan.
          Ibu, kau ajari aku tuk berani berjuang. Kau didik aku tuk jadi manusia kuat. Kau bimbing aku tuk jadi pemberani dan kau akhirnya berharap agar aku jadi pemenang dalam hidup. Aku menang bukan karena serakah, aku menang bukan karena kekejaman, aku menang bukan karena kerakusan, aku menang bukan karena pencaplokkan, aku menang bukan karena tipu daya tetapi menang karena kasih dan cinta. Cinta memang selalu menuntut pengorbanan. Cinta selalu menuntut kebesaran jiwa. Cinta tak bisa ada tanpa kerelaan hati untuk memberi diri. Engkau tahu bahwa hanya dengan demikian hidupku akan menjadi lebih berarti dan bermakna.
          Hari boleh berlalu, siang ganti malam, cuaca boleh berubah ada saat kering dan panas panjang lalu berubah dingin dan hujan, laut boleh berubah ada air pasang ada air surut, waktu boleh berlalu ada masa lalu, masa kini dan masa datang tapi cinta seorang ibu tak pernah berubah. Cinta ibu kekal adanya.  Kekuatan hidupku adalah ibuku. Ia telah memberi segala-galanya. Ibu adalah cinta itu sendiri. (D'O BGC) 

Minggu, 01 April 2012

DAMPAK PERANTAUAN TERHADAP KEHIDUPAN BERKELUARGA





Oleh Desideratus Mariano Amdingsaputro *

I.       Pengantar
            Perantauan adalah fenomena yang telah lama dihidupi masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi dalam kehidupan masyarakat NTT. Realitas perantaun seakan menjadi budaya yang telah dihidupi sejak zaman dahulu dan makin popular di zaman sekarang. Kalau kita mau menghitung mundur ke belakang, sebenarnya banyak sekali orang Flores yang memilih merantau di daerah lain. Kebanyakan ke Jawa dan Bali.[1] Namun, tak sedikit juga yang merantau ke Kalimantan, Papua, Sulawesi, Sumateta bahkan jauh ke negeri Jiran sana. Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri mengapa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Memang merantau sebenarnya bukanlah keinginan setiap orang sejak kecil. Namun karena ada beberapa hal yang kemudian membuat orang Flores, “terpaksa” pergi meninggalkan Flores dan merantau ke luar.
            Hal mendasar yang mendorong orang untuk merantau adalah untuk mengadu nasib dan mencari kesuksesan. Atas dasar inilah maka kebanyakan orang meninggalkan sanak keluarga, kampung halaman dan mengadu nasib di tanah rantau. Perantauan yang pada awalnya merupakan sebuah usaha luhur kini telah mengalami pergeseran. Salah satu hal utama yang disoroti yaitu menurunnya moral manusia. Sejauh ini kita dapat melihat bahwa banyak kasus yang menimpa para perantu kita. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik harus menanggapinya secara serius. Gereja harus peka melihat realitas seperti ini. Karena persoalan ini mengancam keutuhan keluarga Katolik.
II. Memahami Fenomena Perantauan
2.1  Makna Perantauan
            Term perantauan berasal dari kata “rantau” yang berarti daerah diluar daerah/ negeri sendiri. Perantauan berarti negeri tempat orang mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang berasal dari daerah lain. Kata kerja merantau berarti pergi ke daerah/ Negara lain untuk mencari penghidupan. Pelakunya disebut perantau.[2] Golongan orang-orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju ke tanah rantau dapat dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, golongan terpelajar. Mereka ini merupakan golongan yang terdiri dari para remaja yang berangkat ke tanah rantau dengan motif untuk studi atau specialiced training.[3] Kedua, Golongan perantau yang tidak memiliki keterampilan yang memadai. Mereka rata-rata berekonomi lemah dan berpendidikan minim saja.[4]
            Para perantau Indonesia yang berada di luar negeri, khususnya yang tersebar di beberapa Negara asia lebih dari dua juta orang termasuk pekerja ilegal. Mengadu kesuksesan di tanah rantau bukanlah hal yang mudah dan selalu berhasil. Kadang pula para perantau harus bergulat dengan penderitaan fisik dan batin. Daerah rantau kadang menjadikan mereka sebagai sasaran perlakuan buruk, hak asasi mereka diinjak-injak dan tidak mendapat perlindungan hukum. Lebih sadis lagi mereka diperlakukan semena-mena oleh majikan mereka.
2.2 Alasan dan Tujuan Perantauan
2.2.1 Aspek Ekonomi
            Berdasarkan fakta, mayoritas masyarakat Flores bermata pencaharian sebagai petani. Masalah yang paling mendasar bagi keluarga-keluarga Flores adalah kemiskinan dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat. Di saat kebutuhan harian makin meningkat, di saat itu pula kemiskinan terus menanjak. Sebuah perbandingan yang sangat menyiksa masyarakat Flores. Jumlah pendapatan yang diperoleh justru berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Semakin tinggi dan banyak pendapatan yang diperoleh, semakin banyak juga kebutuhan harian dengan tingkat harga yang melambung pula. Pergerakan ekonomi di daerah lain bergerak jauh lebih cepat dari pergerakan ekonomi di daerah Flores. Kemiskinan ini menutup dan mengekang semua lapisan masyarakat Flores, tanpa kecuali. Hampir tidak ada satupun golongan masyarakat Flores yang berada di luar lingkaran kemiskinan, kecuali para pejabat. Kemiskinan seakan menjadi “duri dalam daging” bagi masyarakat Flores. Di tanah yang gersang, dengan tingkat pendapatan yang kecil, orang-orang Flores masih harus berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian mereka. Sungguh sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan.
Kemiskinan ini berdampak langsung terhadap kurangnya infrastruktur memadai di Flores dan meningkatnya angka pengangguran di Flores. Bicara soal infrastruktur, Flores kalah segala-galanya. Sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pemerintahan, semuanya sangat minim. Tak ada toko buku yang bisa diakses dengan mudah. Tak ada rumah sakit dengan pelayanan prima. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat daerah terpencil seperti Flores, harusnya membutuhkan pembangunan di bidang infrastruktur. Keadaan ini sungguh terasa menyedihkan karena mayoritas masyarakat Flores sangat merindukan infrastruktur yang memadai dengan kemudahan aksesibilitasnya. Lain infrastruktur, lain pula soal pengangguran. Pengangguran itu adalah hasil “perkawinan” antara kemiskinan yang meningkat dan lapangan pekerjaan yang terbatas. Seperti itulah keadaan di Flores. Di saat kemiskinan dan angka kelahiran yang terus meningkat, lapangan pekerjaan malah semakin menipis. Satu-satunya pekerjaan yang membuka lowongan rutin tiap tahun hanyalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, akibat dari kurangnya pendidikan masyarakat Flores kala itu, PNS pun tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk ‘berlabuh’. Di saat yang bersamaan, PNS sudah dirasakan tidak mampu menjawabi zaman yang semakin cepat berlari ke depan. Generasi muda di NTT seolah kehilangan masa depan. Mau merantau, tak punya duit. Mau bekerja, tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Pun tak ada industri-industri kreatif yang berkembang di Flores. Alhasil, generasi muda Flores lebih mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan, di pinggir (dekker) jembatan, duduk bergerombolan, menenggak minuman keras dan akhirnya menciptakan berbagai keresahan di tengah masyarakat.
Kemiskinan dan pengangguran ini semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas sektor unggulan di Flores, yaitu pertanian. Banyak orang bilang Flores itu hanya cocok untuk pertanian. Sayangnya, pertanian itu identik dengan kemiskinan. Apalagi, saat ini, pertanian dirasa sudah tidak kontekstual lagi, tidak mampu menjawabi tantangan zaman. Lihat saja, berapa banyak generasi muda yang kuliah dan mengambil mata kuliah pertanian? Berapa banyak anak-anak muda Flores, yang setelah selesai kuliah, kemudian kembali dan mengembangkan kebun milik orangtuanya? Sangat kecil jumlahnya. Mau sampai kapan Flores bertahan dengan pertanian subsisten, sementara masyarakat luar sudah mulai berkembang dan maju dengan ilmu-ilmu terapan lainnya? Dunia itu terus berubah. Di dalam sebuah dunia yang dinamis, stagnasi bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Alasan-alasan ekonomi inilah yang akhirnya memantapkan orang-orang Flores mengambil keputusan untuk memilih jalan merantau. Mereka hanya mau keluar dari jerat kemiskinan yang ada. Bukankah seorang anak harus bercita-cita menjadi lebih baik dari orangtuanya?

2.2.2 Aspek Sosio Kultural

Selain masalah ekonomi, kondisi sosio-kultural pun turut mempengaruhi orang-orang Flores memutuskan meinggalkan tanah Flores. Pertama, terlalu kuatnya adat yang mengekang masyarakat Flores. Orang Flores itu terkenal memegang teguh adat istiadat yang ada. Sayangnya, hal ini justru membuat orang Flores semakin “mengkultuskan” adat istiadat. Sedangkan dalam sebuah dunia yang modern, kita perlu untuk sesekali “meninggalkan” adat istiadat yang terlalu mengekang. Jika adat istiadat dirasakan tidak membawa masyarakat Flores ke arah kesejahteraan, kenapa harus tetap dipertahankan? Bukankah adat istiadat harus disesuaikan dengan perkembangan zaman? Setiap acara atau ritual adat maupun keagamaan di Flores, hampir pasti ada saja yang dikorbankan. Entah itu kerbau, sapi, babi, anjing, beras, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Semua ini tentunya mempunyai harganya masing-masing. Kadang, untuk sebuah urusan adat, orang Flores harus berhutang. Sederhananya, gali lubang tutup lubang. Kedua, Flores masih kental dengan nilai-nilai primordialisme. Walaupun berada dalam satu pulau, orang Flores masih terkotak-kotak dalam perbedaan suku, kabupaten maupun bahasa. Di dalam sebuah dunia yang terus berkembang, primordialisme kadang menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana mau maju kalau perjuangan menuju kemajuan itu masih dilakukan daerah per daerah atau golongan per golongan? Satu yang aneh adalah, jika berada di luar Flores, orang Flores bersatu sebagai satu Flores. Itu pun masih terbatas dalam hal-hal tertentu. Namun, di dalam Flores sendiri masih terjadi berbagai konflik atas nama suku dan daerah.
2.3 Dampak Perantauan
            Salah satu dampak positif dari perantuan ialah meningkatnya pendapatan bagi keluarga asal perantau. Kita lihat saja kehidupan nyata yaitu bahwa seseorang rela menjual segala macam harta misalnya saja tanah, ternak dll, hanya untuk bekal menuju tanah rantau. Semua ini tidak mereka perhitungkan, yang penting bisa merantu. Rupanya tanah rantau telah menjadi “firdaus” yang indah dan diidam-idamkan serta menjadi tanah terjanji bagi mereka.
            Selain dampak positif, muncul pula dampak-dampak negatif dari perantauan. Pertama, seorang suami yang merantau harus meninggalkan anak-istri di kampung halamannya. Konsekuensi dari hal ini, istri dan anak harus menghidupi diri sendiri. Situasi kesendirian ini dapat melahirkan hilangnya rasa tanggung jawab dan kesetiaan dari suami-istri. Juga membuka ruang bagi terciptanyan dampak negatif seperti perselingkuhan dan ketidakseimbangan perkembangan anak. Biasanya sang istri yang ditinggalkan akan merasa sungguh tertekan bila sang suami yang sudah lama merantau tidak memberikan kabar berita kepadanya. Berbagai isu dan gosip mulai berkembang bahwa sang suami telah mempunyai istri lagi di tanah rantau. Hal ini tentunya menyebabkan keretakan dalam rumah tangganya.
            Kedua, dampak lain dari perantauan yaitu aktivitas kemasyarakatan orang desa dan keagamaan didominasi oleh kaum perempuan. Tidak heran bila yang selalu menghadiri perayaan kebaktian agama didominasi oleh kaum wanita. Ketiga, problem moral. Kemajuan industri di tanah rantau memacu deviasi moral. Pergaulan bebas, free seks, hamil di luar nikah, narkoba, perjudian menjadi fenomena buruk bagi para perantau.
2.4 Dampak Perantauan Bagi Keluarga
            Dampak dari perantauan telah merasuk jauh kedalam kehidupan keluarga. Praksisnya dalam keluarga tidak ada lagi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan masyarakat kita, eksistensi kepala keluarga sangat menentukan keberadaan sebuah keluarga. Sama halnya dalam doktrin Kristiani, ditandaskan bahwa perkawinan dimaksudkan agar mereka yang terlibat mempunyai anak, diberkati dengan perhatian dan mendidik mereka demi kehendak Allah, demi pujian dan kemuliaan.[5] Dalam keluarga perantau, tujuan perkawinan untuk mendapat dan mendidik anak demi kehendak dan kemuliaan Allah bukan menjadi ideal pertama. Anak berkembang dalam asuhan ibunya maka mereka hanya mengenal ibu. Tidak akan ada kemesraan antara bapak dan anak sama seperti antara anak dan ibu. Kadang pula terjadi sang ayah yang baru pulang dari perantauan melihat anak gadisnya bukan lagi dengan naluriah kebapaan namun lebih pada naluri yang pada akhirnya menuju inses.
            Tidak adanya relasi seksual secara normal dalam jangka waktu yang panjang, dapat berakibat fatal bagi istri sebagai pihak yang dikorbankan, dan bagi keutuhan keluarga. Sang istri akan mengalami tekanan psikis sehingga sering terjadi sang istri jatuh ke tangan laki-laki lain. Karena tuntutan biologis dan tak pastinya pengiriman uang, terpaksa dia menerima laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab.

III. Peranan Gereja Menghadapi Iklim Buruk Perantauan
            Fenomena perantauan yang kian meningkat dan memburuk telah menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Dalam hal ini gereja pun juga harus turut berpartisipasi dalam menanggapi masalah ini. Membengkaknya jumlah perantauan merupakan salah satu bukti bahwa manusia salah menggunakan kebebasan. Mengapa hal ini terjadi? Karena zaman sekarang yang mendorong seseorang untuk merantau bukan hanya karena motif mencari nafkah, namun juga karena orang merasa tergiur dengan pesona kota-kota besar.
3.1 Pastoral Keluarga dalam Menghadapi Fenomena Perantauan
            Maraknya fenomena perantauan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk berpastoral secara baru. Gereja harus berjuang keras menghadapi situasi konkret ini. Gereja harus berani turun dan mulai berdialog dengan umatnya, terutama umat-umat dari golongan kecil dan miskin, gereja yang sungguh lokal dan mempribumi, berdialog dengan semua orang khususnya orang miskin.[6] Gereja atau agen pastoral harus menyokong pengentasan kemiskinan dan harus memelihara nilai-nilai otentik dari kepribadian atau kehidupan keluarga.
            Berhadapan dengan fenomena perantauan, Paus Yohanes Paulus II menyerukan suatu usaha pastoral yang lebih siap, bijaksana dan arif menurut teladan gembala yang baik bagi keluarga-keluarga yang diluar kemauan mereka atau keadaan sulit lainnya harus bergulat dengan situasi yang sulit. Maka dari situ, sikap pastoral gereja yaitu, memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga akan dampak negatif dari perantauan, misalnya melalui kegiatan katekese dan pembinaan iman lainnya. Ada dimensi penting yang perlu dipersiapkan sebelum merantau. Untuk itu gereja harus berperan dalam penanaman nilai spiritual ke dalam diri para perantau. Gereja harus memberikan pemahaman dan peneguhan iman bagi anggota keluarga perantau, khususnya kesetiaan anggota keluarga yang ditinggal pergi.

IV. Penutup
            Realitas perantauan dewasa ini menjadi hal yang sulit untuk dibendung.berbagai realitas kelam di tanah perantaun tidak mengurangi kemauan untuk merantau. Memang banyak orang yang menuai keberhasilan di tanah rantau, namun selain itu pula pelecehan moral juga tumbuh secara subur karena perantauan. Salah satu dampak utamanya yaitu bagi kehidupan berkeluarga. Keutuhan keluarga kadang mulai mengalami keretakan akibat tindakan ini. Berhadapan dengan situasi seperti ini, gereja harus mulai menunjukan keberpihakannya dalam menyelamatkan umat manusia. Karya pastoral gereja sesungguhnya harus secara langsung menyentuh umat yang mengalami fenomena tersebut. Tidak semua perantau mengakhiri ziarah migrasinya dengan membawa kesuksesan. Ada yang secara material sukses namun gagal secara spiritual, atau pun sebaliknya. Untuk itu mereka perlu ditolong. Siapa yang harus menolong? Yang pasti bahwa siapa saja dapat menolong untuk penemuan diri utuh secara jasmani dan rohani.
·         Calon Imam Keuskupan Maumere



[1] Abdul Haris, Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p.17.
[2] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).  p. 728.
[3] Yosef Lalu, Kembali Ke Desa Tinggal Di Desa (Jakarta: Komisi kepemudaan KWI, 1999), p.2
[4] Ibid.,
[5] Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen ( Yogyakarta: Kanisius, 2000), p.53.
[6]  San Fernando, “La Union”, dalam Georg Kirchberger dan John M Prior (ed), Mengendus Jejak Allah I (Ende: Nusa Indah, 1997), p. 100.

SWR (November 2011)


NOVEMBER
Atraksi THS
Komunitas ritapiret dalam kehidupannya juga mendidik pendekar-pendekar handal pembela kebenaran. Mereka dilatih dalam pelbagai aspek diantaranya aspek rohani dengan bermeditasi, berdoa dan sebagainya, aspek fisik yakni dengan berlatih jurus-jurus pamungkas dari A sampai Z. di bawah arahan fr. Egy bonur, fr. Aris saka, fr. Risno maden… ketahanan fisik mereka telah teruji. Kaki mereka keras laksana batu yang mampu memecahkan beling, siapa pernah menyangka kalau tangan-tangan halus itu mampu memecahkan genteng.. wah mereka hebat bukan kepalang.. ada yang berminat? Silahkan masuk kelompok minat THS. Sebelum melakukan atraksi  di dalam komunitas  ritapiret, para anggota THS melakukan pelbagai latihan dan meditasi. Meditasi bagi mereka merupakan ajang untuk  mempersiapkan diri da n memohon dukungan dari Tuhan se be lum melakukan pementasan. Alhasil…usaha mereka tidak lah sia-sia. Mereka tampil perkasa dan kelihatan jantan meskipun ada insiden  kecil  yang cukup mencemaskan.

28 November Pembukaan masa Adven
Di usianya yang tidak dapat dikatakan muda lagi Rm. Pede masih bersemangat memimpin misa pembukaan masa adven. “masa adven merupakan masa penantian. Kita menantikan kedatangan jurus selamat yang akan membebaskann kita dari belenggu dosa..” demikian kothbahnya. Kearisti minggu pagi itu  bagitu khusyuk, sesepuh  di Ritapiret itu mencoba menampilkan ekaristi yang ber semangat, hal ini ter lihat dari semangatnya. Doa damai yang dituturkannya begitu mendalam sambil menyelipkan pesan-pesan yang ada dalam bacaan. Itulah kreativitas Rm. Pede yang tak kunjung sirna.

Karyawan menerima kunjungan mudika Bloro
 Emon, sil dkk kali ini harus bertindak sebagai tuan rumah dalam acara penerimaan mudika bloro. Kedatangan mudika bloro ini merupakan kunjungan balasan terhadap karyawan/ti ritapiret yang beberapa waktu lalu mengunjungi bloro dalam rangka pengembangan pastoral. Kunjungan ini diwarnai dengan beberapa pertandingan diantaranya  volley putera dan puteri. Karyawan/ti ritapiret turun dengan kekuatan penuh dan berhasil mematahkan perlawanan  mudika bloro.

 Pentas band lela
Minggu 14 november, Lela dihebohkan dengan aksi panggung para frater melalui pagelaran band.  Sebagai ajang pengembangan bakat dan minat di bidang music, para frater ritapiret khususnya sie music instrument mengadakan pementasan band di lela.

50 tahun Alma
Sebuah lembaga sosial yang menampung anak-anak cacat merayakan ulang tahunnya yang ke 50. Bertempat di halaman komunitas alma perayaan ekaristi peringatan ulang tahun yang 50 itu  berlangsung dan dipimpin oleh Mgr. Kherubim, SVD. Ekaristi yang seharusnya disinyalir akan berlangsung meriah, diredam oleh padamnya listrik. Kor yang pada awalnya meriah pun terhenti akibat arus yang tak mampu nmenghidupkan alt-alat music.                                        


PESAN PAUS BENEDIKTUS XVI UNTUK HARI PERANTAU DAN PENGUNGSI SEDUNIA PARA PERANTAU DAN EVANGELISASI BARU




Diterjemahkan oleh Tinus Ama *

Berikut ini merupakan pesan dari Yang Mulia Paus Benediktus XVI untuk memperingati 98 tahun Hari Perantau dan Pengungsi Sedunia tahun 2012 dengan tema:Migrasi dan Evangelisasi Baru” yang akan diperingati pada 15 Januari 2012.
Saudara-saudari terkasih,
Mewartakan Yesus Kristus sebagai penebus dunia merupakan esensi misi Gereja. Hal ini menjadi tugas dan misi yang amat mendesak sekarang ini (Evangelii Nuntiandi, 14). Tentu saja, pada masa sekarang dirasa amat urgen untuk memberikan daya dorong yang segar dan pendekatan baru untuk karya pewartaan  di dunia guna menghancurkan tembok pemisah dan globalisasi baru yang semakin mendekatkan tiap pribadi. Dua hal yang menjadi penyebab yaitu: perkembangan alat-alat komunikasi sosial dan mobilitas masyarakat yang begitu tinggi. Dalam situasi baru ini kita mesti membangkitkan dalam diri masing-masing kita sikap antusias dan keberanian yang dimotivasi oleh semangat komunitas Kristen perdana untuk mewartakan kebaruan Injil kemana-mana tanpa gentar. Kita hendaknya berpegang pada kata-kata St. Paulus: “Karena jika aku memberitakan injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku jika tidak memberitakan injil!” (1 Kor 9:16).
  ”Migrasi dan Evangelisasi Baru” merupakan tema yang saya pilih pada tahun ini untuk Hari Perantau dan Pengungsi Sedunia. Kenyataan ini mengajak Gereja untuk memulai suatu evangelisasi baru, yang juga merupakan fenomena luas dan kompleks dari gerakan kemanusiaan. Panggilan ini berihktiar untuk mengintensifkan aktivitas misioner baik bagi daerah yang baru membuka lahan Penginjilan, maupun bagi negara-negara yang tradisi kekristenannya sudah kuat.
Beato Yohanes Paulus II mengajak kita untuk “memperkaya diri dengan sabda untuk menjadi pelayan sabda dalam pewartaan di tengah situasi yang beragam serta tuntutan yang semakin tinggi, dalam konteks globalisasi, dan dalam keanekaragaman budaya (Novo Millennio Ineunte, 40).  Kenyataan  bahwa migrasi internal dan internasional, sebagai sebuah pencarian demi kondisi hidup yang lebih baik atau untuk keluar dari penganiyaan, peperangan, kekerasan, kelaparan atau bencana alam telah membawa konsekuensi yang belum terjadi sebelumnya  terhadap pribadi dan masyarakat. Hal ini merupakan suatu masalah baru yang bukan hanya mencakup sisi kemanusiaan, melainkan juga etika, agama, dan spiritual. Konsekuensi terkini tampak nyata dalam sekularisasi, desakan dari gerakan-gerakan sektarian dan melebarnya ketidakpedulian terhadap iman Kristen. Dampak-dampak ini mengarah pada fragmentasi yang merupakan penghambat penyatuan sebuah keluarga yang penuh persaudaraan dalam masyarakat yang multi-etnis dan beragam budaya, dimana setiap orang dari beragam religi diajak untuk mengambil bagian dalam dialog. Era kita ditandai pencobaan untuk menghapuskan Tuhan dan ajaran Gereja dari horizon kehidupan, ketika keraguan, skeptisisme dan keberbedaan merangkak pelan-pelan untuk mengeliminasi alat penglihatan sosial dan simbolik dari iman Kristen.
Dalalm konteks ini para migran yang telah mengenal Yesus Kristus tidak jarang kehilangan iman akan Yesus Kristus, menyangkal diri sebagai anggota Gereja, dan hidup tidak sesuai dengan ajaran injil dan Gereja. Hal ini disebabkan oleh daerah tujuan perantauan yang minoritas kristen, dan agama Kristen yang direduksi sebagai fakta budaya. Di sini Gereja dihadapkan dengan tantangan untuk membantu para migran dalam  menjaga api iman mereka, lebih jauh ketika para migran dicabut dari semangat budaya yang berasal dari negeri asalnya, dan membuat mereka untuk tetap berpegang pada sabda Allah. Pada beberapa kasus, hal tersebut merupakan satu kesempatan untuk memproklamirkan bahwa dalam diri Yesus kemanusiaan merupakan bentuk pengambilbagianan dalam misteri Tuhan teristimewa dalam hidup Yesus yang diwarnai oleh cinta. Kemanusiaan juga dibuka pada horizon akan harapan dan damai dan juga melalui dialog yang penuh rasa hormat dan bersaksi tentang persaudaraan. Di lain pihak di sana ada kemungkinan perwujudan kembali akan kesadaran kristiani yang telah redup melalui pembaharuan evangelisasi kabar Suka cita dan konstitensi kesadaran hidup Kristiani demi adanya kemungkinan penemuan kembali kedekatan dengan Kristus untuk menjadi kudus dimana saja berada termasuk di tanah perantauan.
Fenomena migrasi pada masa kini juga menjadi kesempatan yang ditakdirkaan demi pemaklumkan Injil kepada dunia kontemporer. Pria dan wanita dari beragam daerah di jagad ini yang belum berjumpa dengan Yesus Kristus atau hanya mengetahuinya secara parsial  dianjurkan untuk menerima tradisi Kristen tua. Sungguh hal ini baik demi menemukan cara yang memadai bagi mereka untuk bertemu Yesus dan mengenal Yesus Kristus dan mengalami sebagai hadiah berharga sebagai penebus bagi setiap orang, sebagai sumber kelimpahan hidup (bdk Yoh 10:10); dalam diri para perantau terdapat peran khusus menjadi “ bentara Sabda Allah dan saksi-saksi bagi Yesus yang bangkit, harapan seluruh dunia” (Nasihat Apostolik Verbum Domini, 105).
Para pelaku pastoral: para imam, biarawan-biarawati, serta kaum awam berperan penting dalam rencana evengelisasi baru dalam konteks perantauan. Mereka berkarya lebih banyak dalam konteks yang beragam: dalam kesatuan dengan para koleganya sesuai gambaran Magisterium Gereja. Saya  mengundang mereka semua  untuk mencari jalan bagi syering persaudaraan dan pemakluman penuh hormat, mengatasi oposisi dan nasionalisme. Tugas mereka adalah harus menemukan cara  untuk meningkatkan kerja sama demi kepentingan baik bagi siapa yang akan pergi maupun kembali, dan bagi migran yang sementara dalam perjalanan yang sungguh membutuhkan kedekatan dengan wajah Kristus. Dibutuhkan suatu pelayanan pastoral yang lebih komunio, yang mana mampu mengatasi keberbedaan budaya di tanah perantauan.
Para pencari suaka yang melarikan diri dari penganiayaan, kekerasan dan situasi-situasi penuh risiko, senantiasa membutuhkan pengertian dan sambutan sebagai bentuk penghargaan terhadap harkat dan martabatnya. Penderitaan mereka perlu dibela dengan cara menunjukkan sikap saling menerima, mengatasi ketakutan dan mencegah berbagai bentuk diskriminasi, dan membuat ketentuan bagi suatu solidaritas yang konkret juga melalui struktur yang jelas demi kenyamanan dan program-program pengaturan. Rasa saling menerima antara komunitas negara yang berbeda-beda, dan semua mereka yang telah dengan hati lapang menerima saudara yang melarikan diri, merupakan bentuk tanggung jawab antara negara.
Pers dan media lainnya mempunyai peran penting dalam pemberitaan secara tepat, objektif, dan jujur situasi dari mereka  yang ditekan untuk meninggalkan tanah airnya dan semua yang mereka kasihi  dan berkeinginan untuk membangun hidup baru.
Komunitas kristiani harus memberikan bentuk perhatian tertentu kepada para migran pekerja dan keluarganya dengan menemani mereka dalam doa, sikap solider dan karitas Kristen dengan saling memperkaya, mengembangkan sebuah politik yang baru, rencana ekonomi dan sosial yang menunjukkan respek bagi martabat setiap umat manusia, perlindungan bagi keluarga, akses rumah layak pakai, untuk berkarya dan kesejahteraan.
Para imam, biarawan-biarawati, kaum awam dan segenap muda-mudi mesti lebih peka untuk memberikan dukungan bagi saudara-saudarinya yang sedang menjauhkan diri dari kekerasan, menghadapi suatu gaya hidup dan kesulitan berintegrasi. Proklamasi penebusan Yesus Kristus sungguh menjadi sumber kelegaan, harapan dan penuh kegembiraan (Bdk. Yoh. 15:10)
Akhirnya, saya mesti menyebutkan situasi sejumlah pelajar internasional yang sedang menghadapi masalah penyatuan, kesulitan birokratis, kesulitan penginapan dan bangunan yang layak. Komunitas Kristen sungguh menjadi peka, secara khusus bagi muda-mudi yang mencari bentuk hidupnya, membutuhkan titik perbandingan demi perkembangan budaya, dan memiliki dalam hatinya kehausan mendalam akan kebenaran dan rindu berjumpa dengan Tuhan. Universitas-universitas sebagai sumber inspirasi, yang pada jalur khusus menjadi saksi dan penyebar evangelisasi, secara serius berkomitmen untuk menyumbang masyarakat, budaya, perkembangan manusia dalam lingkungan akademik. Mereka juga mempromosikan dialog antar budaya dan meningkatkan kontribusi yang dapat diberikan oleh mahasiswa internasional. Jika mereka ini menjadi sejumlah saksi dan teladan hidup kristianis Injil yang otentik,  hal ini sungguh akan mendorong mereka menjadi agen-agen evangelisasi baru.
Sahabat-sahabat terkasihku, marilah kita bersama Maria pengantara sebagai ”Bunda Pelindung”, sehingga sukacita pengabaran penebusan dalam Yesus Kristus akan memberikan  harapan dalam hati kita masing-masing dan bagi mereka yang berjalan di dunia ini. Untuk semua saya mencurahkan berkat apostolikku.   

Vatikan, 21 September 2011
   Calon Imam Keuskupan Denpasar



[1] Tulisan ini disadur dari pesan Paus Benediktus XVI untuk hari migran dan pengungsi tahun 2012  dalam majalah L’OSSERVATORE ROMANO. Number 43, Wednesday, 26 October 2011.