Laman

Selasa, 17 Januari 2012

ALLAH PENGHARAPAN DALAM PENDERITAAN (Pandangan Teologis Terhadap Novel "Perburuan" Karya Pramoedia Ananta Toer



1.    Pengantar
Penderitaan merupakan suatu fenomena yang selalu membayangi perjalanan hidup manusia, bahkan menjadi bagian dari hidup manusia. sebagai problem faktual manusia, penderitaan tetaplah menjadi pernyataan dasar manusia dalam kaitannya dengan keberadaannya sebagai ciptaan Tuhan dalam dunia serta keberadaan Allah. Seorang humanis ateis bernama Mortentetaler pernah mengatakan “ jelas bagi saya bahwa jikalau Tuhan itu ada, Ia betul-betul Maha Kuasa dan Maha Baik, maka tidak akan pernah membiarkan datangnya kejahatan bertubi-tubi seperti misalnya petaka Nazi yang menelan jutaan korban, termasuk di antaranya anak-anak yang tak berdosa.”[1] Pernyataan di atas menunjukan keberatannya terhadap eksistensi Allah, karena adanya kejahatan. Manusia selalu bertanya kepada allah mengapa harus ada penderitaan. Manusia kadang lupa bakan tidak mengerti makna dari penderitaan yang sesungguhnya.
Novel Perburuan merupakan salah satu karya sastra yang secara teologis berbicara tentang makna penderitaan manusia. Pramoedya secara jelas menggambarkan bahwa kisah penderitaan manusia selalu menghantar manusia untuk kembali menyapa dan berharap pada Allah.
2.   Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer
2.1 Sekilas Tentang Pramoedya Ananta Toer
            Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung  Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.  Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik  pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.[2]
            Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia.
            Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir.[3]
2.2    Sekilas Tentang Novel Perburuan
     Novel perburuan di tulis oleh Pramoedya pada masa- masa awal kariernya sebagai pengarang. Perburuan ditulis pada periode Pra Lekra. Pada  masa penulisan novel ini ia cenderung moralis. Sifat novel Perburuan ini bukanlah bersifat cerita heroik. Karya ini sama sekali tidak mencerminkan seorang pengarang yang berapi-api secara ideologis, tetapi menampilkan tradisi kearifan khas Jawa dengan berbagai simbol yang muncul sepanjang novel. Pertapaan atau meditasi, gamelan, pesta sunat merupakan salah satu contoh yang mau menunjukan bahwa novel perburuan merupakan sebuah novel yang kaya akan nilai rohani.
2.3 Unsur-Unsur Intrinsik Novel Perburuan Karya Pramoedya
            Unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya
sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri.
2.3.1 Tema
            Tema utama yang terkandung dalam novel Perburuan adalah perjuangan melawan penjajahan Jepang. Buktinya, di beberapa adegan ada tokoh dari Jepang yang kasar dan memiliki kekuasaan di Indonesia menindas orang Indonesia yang tidak berpihak pada Jepang. Dikatakan berkuasa karena sang tokoh beberapa kali mengancam dengan ancaman bahwa Kenpei akan menghancurkan mereka. Kenpei adalah suatu badan milik Jepang yang suka menghukum orang Indonesia yang menentang Jepang pada masa penjajahan Jepang. Selain itu, novel ini dibuat oleh Pramoedya pada tahun 1947, di mana waktu tersebut adalah tiga tahun sesudah Indonesia lepas dari penjajahan Jepang. Semangat nasionalisme tentu masih ada dalam benak orang-orang Indonesia yang cinta tanah air, sehingga dalam novel ini, Pramoedya mengangkat tema perjuangan melawan Jepang dari sudut pandang orang-orang miskin yang seakan tidak dapat bergerak karena ada kekangan dari pemerintah Jepang.
            Novel Perburuan ini juga berbicara tentang penderitaan dan pengharapan yang penuh akan hari pembebasan, hari di mana Jepang menyerah kepada Indonesia. Kaum Kere yang hidup dalam situasi yang penuh penderitaan menjadi orang-orang yang terpanggil untuk memperjuangkan kebahagiaan tersebut.
2.3.2 Alur atau Plot
            Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal yaitu: Pertama, Berdasarkan urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear. Kedua, Berdasarkan hubungan sebab akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal. Ketiga, Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
            Dalam novel Perburuan, cerita kecil-kecil dijalin dalam satu novel. Misalnya, ketika Hardo bersama Lurah Kaliwangan, ia membicarakan tentang keberadaan Ningsih, tunangannya serta ayahnya yang sudahh dipecat dari jabatannya. Dengan ayahnya, ia mengetahui bahwa ayahnya menjadi seorang penjudi dan iapun tahu dari ayahnya tentang keadaan keluarganya saat ia menjadi pengemis. Lalu saat ia berbincang-bincang dengan Dipo, diketahui bahwa Ningsih ada di kota tempat mereka tinggal, lalu ada berita tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu, saat komandan Jepang berbicara dengan Karmin dan Lurah Kaliwangan, diketahui bahwa Lurah Kaliwangan memiliki rencana busuk dan lain-lain. Oleh karena itu cerita ini memiliki alur yang terdapat dalam bingkai cerita, di mana cerita-cerita kecil dikumpulkan menjadi satu.
2.3.3 Penokohan
            Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh. Pertama,   metode analitis / langsung /diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung. Kedua, metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Sedangkan berkaitan dengan penokohan, tokoh dalam sebuah karya sastra dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tritagonis.
            Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang juga mempunyai suatu paham yang berhubungan dengan tema. Dalam Novel Perburuan paham yang dimaksud adalah paham semangat kebangsaan serta perjuangan melawan pengekangan dari Jepang. Tokoh yang memenuhi kriteria tersebut adalah Hardo yang sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini, karena ia sering mengajukan gagasannya yang berisi usaha perjuangannya melawan Jepang an berpikir bahwa Jepang bisa dikalahkan. Gagasan tersebut yang kemudian dituturkan lewat dialognya dengan beberapa orang, salah satunya dalam adengan di mana ia sedang bersama Dipo, kawannya, ia berkata,”Hindia Belanda yang begitu kuat di tanah air kita bisa ditumbangkan oleh Nippon (Jepang) dalam beberapa puluh hari saja. Ingatlah itu. Nippon pun akan tumbang pula di tanah air kita ini.”[4]
            Tokoh protagonis lainnya adalah Dipo, teman Hardo yang memiliki paham yang hampir sama dengan sang tokoh utama, namun bedanya, ia tidak berpikir bahwa Jepang dapat dikalahkan begitu saja oleh Indonesia. Buktinya, ia berkata,” Engkau memperjudikan angan-angan, Hardo!”[5]  Ia tidak mempercayai mimpi Hardo, namun ia sebetulnya sangat mendukung gagasan dari tokoh utama, yaitu bahwa mereka semua harus bertindak untuk melawan Jepang. Selain itu ada pula Mohamad Kasim, ayah dari tokoh utama yang sangat mendukung Hardo. Buktinya, dalam sepanjang bab dua terdapat beberapa dialog yang dilakukan antara ayah Hardo dengan Hardo sendiri, dan ayah Hardo mengatakan bahwa ia sangat ingin bertemu anaknya untuk melindunginya dari buruan Jepang. Ada pula tokoh yang dinamis, yang berubah dari tokoh antagonis menjadi protagonis. Tokoh tersebut bernama Karmin. Ia adalah orang Indonesia yang asalnya mendukung paham yang dianut tokoh utama, namun karena sakithati oleh tunangannya, ia berubah menjadi tokoh antagonis. Ia berbalik mendukung Jepang. Namun pada akhir cerita, yaitu di bab empat, ia mendukung paham yang dianut oleh tokoh utama dengan bersedia menyerahkan dirinya untuk dibunuh oleh rakyat Indonesia yang merasa dikhianatinya.
            Jenis tokoh lainnya adalah tokoh antagonis, di mana tokoh ini adalah tokoh yang menentang gagasan tokoh utama. Tokoh tersebut memiliki paham bahwa Indonesia tidak perlu merdeka, karena bila Indonesia merdeka, kekayaan dan jabatan mereka akan turun. Tokoh yang memenuhi syarat tersebut adalah komandan Jepang yang tidak diketahui namanya. Ia begitu mendukung Jepang dan bertindak semena-mena pada rakyat Indonesia. Ia juga bersandar pada kekuasaan mereka agar orang Indonesia takut pada mereka dan pada saatnya ia tidak bisa bersandar pada Nippon karena Indonesia telah merdeka, ia bebalik memohon ampun pada Indonesia pada bab empat. Selain itu ada juga Lurah Kaliwangan yang juga mementingkan harta. Ia berkata,”…dengan jalan ini Den Hardo akan lenyap dan Den Karmin bisa mengambil tempat di sisi Ningsih” .[6] Dalam cerita, Hardo adalah pengemis dan Karmin adalah seorang komandan milik Jepang yang kekayaannya jauh di atas Hardo.  Lurah Kaliwangan, yang merupakan ayah dari Ningsih merasa senang bila Ningsih menikah dengan Karmin. Tokoh tritagonis adalah Ningsih, yang setia pada gagasan Hardo untuk melawan  Jepang karena ia juga merupakan tunangan Hardo. Namun walaupun begitu, bila kehadiran Ningsih tidak  ada, tidak akan mempengaruhi jalan cerita, karena tokoh tersebut hanya sekedar variasi dari cerita, karena tokoh tersebut lebih menekankan pada suasana romantis bersama Hardo. Selain itu ada juga Kartiman, seorang pendukung Hardo yang secara tersirat mendukung Hardo karena ia melakukan pemberontakan bersama Hardo, namun ia tidak berkata apapun dalam cerita.
2.3.4 Latar atau Setting
            Latar tempat yang ada dalam novel tersebut adalah di sebuah desa dekat kali yang kumuh. Desa itu berada di Blitar, Jawa Timur, yang pada waktu jaman penjajahan Jepang masih banyak pengemisnya serta sawah-sawahnya. Latar waktu yang digunakan nover Perburuan adalah pada akhir masa penjajahan Jepang. Hal ini karena dalam bab pertama dan kedua memang belum diceritakan latara waktu yang spesifik, hanya cerita bahwa saat itu tokoh utama sedang dikejar oleh Jepang karena ia merupakan penghianat Jepang yang sedang menjajahnya. Namun pada bab ketiga dan keempat ada tokoh yang mengatakan bahwa ada berita besar, bahwa kemarin ada orang yang berkata bahwa Indonesia sudah merdeka. Namun karena seperti yang kita tahu bahwa proklamasi diadakan di Jakarta, diperlukan waktu beberapa hari untuk menyampaikan berita kemerdekaan itu karena dahulu alat komunikasi tidak secanggih sekarang. Maka dapat dipastikan latar waktu yang digunakan dalam novel ini adalah ketika akhir jaman penjajahan Jepang. Suasana  yang terdapat dalam novel tersebut adalah rasa takut akan Jepang, namun ada pula keoptimisan dari beberapa orang akan hancurnya Jepang di tanah Indonesia. Seperti pada kalimat,”Hindia Belanda yang begitu kuat di tanah air kita bisa ditumbangkan oleh Nippon (Jepang) dalam beberapa puluh hari saja. Ingatlah itu. Nippon pun akan tumbang pula di tanah air kita ini.[7]
2.3.5 Sudut Pandang
            Sudut pandang yang dipakai dalam novel Perburuan adalah seorang juru cerita yang objektif yang menata apa yang terjadi. Hal ini dikarenakan dalam menguraikan cerita, pengarang menggunakan banyak kalimat langsusng untuk menggambarkan dialog serta menggunakan narasi untuk menggambarkan latar cerita. Dalam novel tersebut pengarang juga menulis mengikuti jalan cerita tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, oleh sebab itu pengarang tidak berdiri di atas cerita.

2.4   Memaknai Penderitaan dalam Novel Perburuan
            Dalam arti luas penderitaan dapat didefenisikan sebagai nada perasaan yang berlawanan dengan kesenangan. Penderitaan merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dalam semua bentuk dan tingkatannya, baik secara jasmani, rohani maupun mental.[8] Tidak semua penderitaan menghancurkan manusia. penderitaan dapat pula membantu manusia untuk membangun diri dan membuktikan diri. Kehadiran penderitaan justru menantang manusia supaya mengembangkan segala kemampuan yang ada padanya, serta membuka diri untuk berjuang menuju suatu perubahan yang lebih baik.
2.4.1 Penderitaan Menurut tradisi Kristen
 Setiap perjumpaan dengan penderitaan seringkali melahirkan kepedihan dan rasa putus asa oleh mereka yang mengalaminya. Banyak pemikiran telah berkembang guna mencoba memahami arti dan makna penderitaan. Gereja sendiri misalnya mengajarkan bahwa Allah menciptakan dunia dan manusia karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya sendiri. Sungguh pun demikian, berhadapan dengan penderitaan pelbagai teori dan ajaran tetap tidak menutup seluruhnya penderitaan sebagai realitas yang menggelisahkan umat manusia. Dalam perspektif kristiani, konsep penderitaan tidak dapat dipisahkan dari kenyatan dosa. Dosa merupakan akar penderitaan. Meski demikian, di sisi lain pemahaman penderitaan dalam Kitab suci juga memperlihatkan adanya penderitaan yang muncul bukan karena akibat dosa. Dalam dua konteks penderitaan ini, iman kristiani menemukan dalam diri Krsitus yang menderita sebuah dorongan untuk berkanjang dalam penderitaan.
            Agustinus dari Hippo (354-430) mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami di dunia ini mempunyai makna. Sebab penderitaan akan berguna bagi sesuatu yang belum kita kenal seluruhnya. Maka manusia perlu mengenal  rencana Allah, yang sudah mengatur semuannya pada tempatnya, sehingga semua aspek pengalaman dapat dinilai secara benar dan tepat. Di samping itu, Ia juga mengatakan bahwa ada penderitaan yang berada di luar rancangan Allah untuk mewujudkan dunia yang harmonis. Sebab di dalam dunia yang diciptakan, dapat saja terjadi hal-hal yang tidak direncanakan dan dikehendaki Allah. Namun sebagai pencipta, Allah memiliki kesanggupan untuk memulihkan penderitaan itu dengan menjadikannya sebagai sarana pembelajaran dan pertobatan, darinya manusia semakin mendalami rahasia ciptaan dan menekuni jalannya menuju Allah[9].
            Ireneus tidak menyangkal gagasan yang dikemukan oleh Agustinus. Ia mengatakan bahwa manusia selalu memandang penderitaan secara negatif. Mereka mempersoalkan penderitaan dan berupaya untuk menciptakan banyak ketenangan dalam diri. Padahal pada dasarnya penderitaan bukanlah hukuman tetapi syarat mutlak pertumbuhan kita menjadi anak-anak Allah. Penderitaan mendorong ciptaan-ciptaan-Nya mencapai tujuan kepenuhan dan kesempurnaan akhir dalam mengasihi dan melayani Dia Yohanes Krisostomus mengatakan bahwa penderitaan mempunyai fungsi untuk memberi silih, menguduskan dan memuliakan. Maka kemartiran dipandang sebagai jalan untuk mengikuti Yesus, awal dari kemuridan yang sempurna. Sehingga salib dilihat sebagai bentuk sempurna eksistensi Kristiani.
2.4.2 Penderitaan sebagai Cobaan Allah Atas Kualitas Iman Manusia
                       Kenyataan penderitaan adalah problem bahkan misteri yang sulit dipecahkan dengan akal sehat manusia. Sebagai animal rationale manusia tidak akan berhenti bergulat dengan penderitaan. Sebagai makhluk berkesadaran, manusia sadar akan penderitaan itu.
Penderitaan menyentil titik kesadaran manusia untuk memahami makna penderitaan. Kesadaran menggiring budi manusia pada suatu dimensi pemahaman, bahwa manusia adalah makhluk rapuh, lemah dan tidak berdaya. Manusia mengalami kekosongan dan ketidakberartiran diri. Daya dan potensi manusiawi tidak mampu mengelakkan sepak terjang penderitaan. Penderitaan mengarahkan pikiran dan nurani manusia menuju kepada suatu horizon yang lain. Penderitaan membuka pemahaman manusia akan kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu transenden, melampaui realitas indrawi. Pada titik ini manusia beriman memahami bahwa segala kejadian kosmos termasuk evolusi benda dipengaruhi oleh daya kuasa ilahi. Maka penderitaan yang dialami manusia bukan tidak mungkin terjadi karena penyelenggaraan ilahi. Dalam arti ini penolakan terhadap penderitaan bukanlah sikap iman dan bukan juga sikap bijaksana kaum beriman. Seorang beriman memahami segala peristiwa harian dalam nuansa dan perspektif religius-teologis. Sikap kristiani yang sehat terhadap diri adalah mengakui dan menerima kondisi manusia yang rapuh, walaupun konsekuensi penerimaan ini membawa penghancuran diri manusia secara psikologis. 
2.4.3 Penderitaan Sebagai Pemurnian Hati
Penderitaan bernilai secara moral. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan penderitaan manusia secara perlahan mulai membenah diri dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama. Penderitaan yang dialami yang diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami seperti yang dialami masyarakat di Aceh dapat memurnikan hati orang-orang yang sedang bertikai. Para pemberontak, seperti GAM akhirnya untuk sementara menyerahkan diri dan ingin berdamai dengan TNI, karena mereka percaya bahwa gempa dan tsunami adalah salah satu kutukan dari Allah atas perbuatan mereka.  Selain itu penderitaan menyentil manusia untuk menyerahkan diri secara total ke dalam penyelenggaraan ilahi. Manusia yang mengalami pemurnian hati atas penderitaan itu akan selalu menunggu kapan Tuhan mengerjakan karya-karya ajaib-Nya.  Manusia menunggu kapan Tuhan menyelesaikan rencana-Nya dalam diri manusia. Tuhan mematikan kita,  membedah hidup kita, memasukkan dan mengambil keluar bagian-bagian dari diri kita dan hidup kita. Situasi penderitaan menggurui manusia untuk belajar memurnikan hati dan memasrahkan diri secara total dan paripurna ke dalam tangan Tuhan.
2.4.3  Allah Pengharapan Bagi yang Menderita (Sebuah tinjauan teologis terhadap    Novel Perburuan)
            Penderitaan yang dialami manusia kadangkala membuat seseorang tergerak untuk kembali berbalik kepada Tuhan, meski itu hanya nampak dalam ungkapan verbal yang sangat sederhana, tetapi lahir dari keyakinan yang sudah mengakar dalam dirinya. Dalam kisah Perburuan nampak bahwa Hardo meninggalkan kehidupan normalnya dan dalam masa pengejaran Nippon ia mengasingkan diri dalam sebuah gua. Dalam pengasingan dan dalam pertapaan ini Hardo menemukan sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan hidupnya. Akhirnya dia memilih jalan menjadi kere. Hardo juga merasakan bahwa keinginannya yang utama yaitu masuk dalam kebahagiaan Allah. Hal ini nampak dalam keinginannya untuk menuju Bintang. Bintang di sini yang dimaksud adalah keinginan untuk kembali kepangkuan Allah.
            Hal lain yang ditonjolkan Pramoedya misalnya dalam ungkapan sederhana saat beberapa tokoh dalam novel Perburuan itu di hadapan penderitaantokoh Muhamad Kasim, ayah Hardo yang hanya mengungkapkan “Oh Allah” [10] saat dia mengenang nasib sial yang menimpanya. Ungkapan verbal sederhana ini sebenarnya merupakan suatu ekspresi pengharapan yang terakhir kepada Allah dalam situasi kehilangan segalanya, ia hanya menaruh pengharapan pada Allah. Ekspresi yang demikian juga nampak dalam pribadi Hardo. Hardo adalah sosok yang sangat menderita secara fisik dan batiniah karena dikejar-kejar oleh Nippon dan juga dia adalah sosok yang ditolak oleh kenalannya. Dalam penderitaannya itu, keti tak ada sesuatu pun yang diharapkan dapat membantu, dia memilih jalan untuk bertapa, mencari Allah dalam keheningan. Ia yakin bahwa Allah masih bisa diharapkan dan Allah bisa mengakhiri semua penderitaannya. Perjalanan spritual seorang manusia itu melahirkan suatu totalitas diri yang memiliki kerinduan yang mendalam akan Allah.
            Di hadapan Tuhan Hardo merasa kecil dan tidak berarti. Ia lalu bersujud dan menyembah dan mengagungkan-Nya.  Hardo menyebut Allah sebagai Bintang, yang ada di atas langit atau Allah sebagai yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
3.    Penutup
       Penderitaan merupakaan suatu hal yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Penderitaan yang dialami manusia kadang  membuat manusia bertanya “ mengapa Allah tega berbuat begini terhadap kita?”. Manusia selalu menilai bahwa penderitaan itu merupakan hukuman dari Allah. Lebih dari itu sebenarnya penderitaan yang menimpah manusia mau menunjukan bahwa Allah ingin mencabai manusia agar mereka sungguh yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Allah ingin manusia berharap penuh kepada-Nya. Situasi penderitaan yang ditunjukan dalam novel Perburuan ini mau menunjukan bahwa dalam situasi penderitaan mereka menemukan Allah sebagai sumber pengharapan. Kekuasaan duniawi mampu dikalahkan dan tidak akan abadi karena hanya Tuhanlah yang Maha Kuasa.
Oleh: Isto Dua dan Vian Atika
Karya ini dipersentasekan sebagai bahan seminar Teologi dan Sastra




DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma,  J. B. (edit),  Hidup Dunia  Sukacita  Allah . Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Kleden, Paul Budi, SVD, Membongkar Derita Teodice:Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi.    Maumere: Ledalero, 2006.

Ralph  Sockman W,  Makna Penderitaan.  Malang: Gandum Mas, 1961.


Toer  Pramoedya  Ananta,  Perburuan.  Jakarta: Hasta Mitra,  2002.

INTERNET






















                [1] J. B. Banawiratma (edit), Hidup Dunia  Sukacita Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1990), p.141.
                [2]  http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer, diakses tanggal 28 April 2011.
                [3] Ibid.
                [4] Pramoedya Ananta Toer, Perburuan ( Jakarta: Hasta Mitra,  2002), p. 100.
                [5] Ibid.
                [6] Ibid., p.129.     
                [7]Toer, Loc. Cit.
                [8] Sockman W. Ralph,  Makna Penderitaan  ( Malang: Gandum Mas, 1961), p. 23.
                [9] Bdk,  Paul Budi Kleden, SVD, Membongkar Derita Teodice:Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, (Maumere: Ledalero, 2006), pp. 90-98.
                [10] Toer, Op.Cit., p. 60.

1 komentar:

Ning pamagado mengatakan...

Suka dh baca ini, ternyata banyak yg menderita dan masih ingat Tuhan, jd semangath neeh..

Manctab....