1.
Pengantar
Penderitaan merupakan suatu fenomena
yang selalu membayangi perjalanan hidup manusia, bahkan menjadi bagian dari
hidup manusia. sebagai problem faktual manusia, penderitaan tetaplah menjadi
pernyataan dasar manusia dalam kaitannya dengan keberadaannya sebagai ciptaan
Tuhan dalam dunia serta keberadaan Allah. Seorang humanis ateis bernama
Mortentetaler pernah mengatakan “ jelas bagi saya bahwa jikalau Tuhan itu ada,
Ia betul-betul Maha Kuasa dan Maha Baik, maka tidak akan pernah membiarkan
datangnya kejahatan bertubi-tubi seperti misalnya petaka Nazi yang menelan
jutaan korban, termasuk di antaranya anak-anak yang tak berdosa.”[1]
Pernyataan di atas menunjukan keberatannya terhadap eksistensi Allah, karena
adanya kejahatan. Manusia selalu bertanya kepada allah mengapa harus ada
penderitaan. Manusia kadang lupa bakan tidak mengerti makna dari penderitaan
yang sesungguhnya.
Novel Perburuan merupakan salah satu
karya sastra yang secara teologis berbicara tentang makna penderitaan manusia.
Pramoedya secara jelas menggambarkan bahwa kisah penderitaan manusia selalu
menghantar manusia untuk kembali menyapa dan berharap pada Allah.
2. Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta
Toer
2.1 Sekilas Tentang Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya
dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa,
pada 1925 sebagai
anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya
berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer,
sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang
berjudul Cerita Dari Blora.
Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia
menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan
"Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada
Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan
kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa
dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier
militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian
dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di
Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang
ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap
korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.[2]
Selama
masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian
pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di
Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis
Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau
di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan
Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan
secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa.
Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis
Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan
di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Ia
dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis
serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia.
Pramoedya
dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan
secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan
negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali
seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama
masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman
neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan
tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan,
dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir.[3]
2.2 Sekilas Tentang Novel
Perburuan
Novel perburuan di tulis oleh Pramoedya
pada masa- masa awal kariernya sebagai pengarang. Perburuan ditulis pada
periode Pra Lekra. Pada masa penulisan
novel ini ia cenderung moralis. Sifat novel
Perburuan ini bukanlah bersifat cerita heroik. Karya ini sama
sekali tidak mencerminkan seorang pengarang yang berapi-api secara ideologis,
tetapi menampilkan tradisi kearifan khas Jawa dengan berbagai simbol yang
muncul sepanjang novel. Pertapaan atau meditasi, gamelan, pesta sunat merupakan
salah satu contoh yang mau menunjukan bahwa novel perburuan merupakan sebuah
novel yang kaya akan nilai rohani.
2.3
Unsur-Unsur Intrinsik Novel Perburuan Karya Pramoedya
Unsur-unsur
intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya
sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri.
sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri.
2.3.1
Tema
Tema
utama yang terkandung dalam novel Perburuan adalah perjuangan melawan
penjajahan Jepang. Buktinya, di beberapa adegan ada tokoh dari Jepang yang
kasar dan memiliki kekuasaan di Indonesia menindas orang Indonesia yang tidak
berpihak pada Jepang. Dikatakan berkuasa karena sang tokoh beberapa kali
mengancam dengan ancaman bahwa Kenpei akan menghancurkan mereka. Kenpei adalah suatu badan milik Jepang
yang suka menghukum orang Indonesia yang menentang Jepang pada masa penjajahan
Jepang. Selain itu, novel ini dibuat oleh Pramoedya pada tahun 1947, di mana
waktu tersebut adalah tiga tahun sesudah Indonesia lepas dari penjajahan
Jepang. Semangat nasionalisme tentu masih ada dalam benak orang-orang Indonesia
yang cinta tanah air, sehingga dalam novel ini, Pramoedya mengangkat tema
perjuangan melawan Jepang dari sudut pandang orang-orang miskin yang seakan
tidak dapat bergerak karena ada kekangan dari pemerintah Jepang.
Novel
Perburuan ini juga berbicara tentang penderitaan dan pengharapan yang penuh
akan hari pembebasan, hari di mana Jepang menyerah kepada Indonesia. Kaum Kere yang hidup dalam situasi yang penuh
penderitaan menjadi orang-orang yang terpanggil untuk memperjuangkan
kebahagiaan tersebut.
2.3.2 Alur atau Plot
Alur
adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun
berdasarkan tiga hal yaitu: Pertama, Berdasarkan
urutan waktu terjadinya (kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear. Kedua, Berdasarkan hubungan sebab akibat
(kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal. Ketiga, Berdasarkan tema cerita. Alur yang demikian disebut alur
tematik. Dalam cerita yang beralur tematik, setiap peristiwa seolah-olah
berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih
dapat dipahami.
Dalam novel Perburuan, cerita kecil-kecil dijalin dalam satu
novel. Misalnya, ketika Hardo bersama Lurah Kaliwangan, ia membicarakan tentang
keberadaan Ningsih, tunangannya serta ayahnya yang sudahh dipecat dari
jabatannya. Dengan ayahnya, ia mengetahui bahwa ayahnya menjadi seorang penjudi
dan iapun tahu dari ayahnya tentang keadaan keluarganya saat ia menjadi
pengemis. Lalu saat ia berbincang-bincang dengan Dipo, diketahui bahwa Ningsih
ada di kota tempat mereka tinggal, lalu ada berita tentang kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, saat komandan Jepang berbicara dengan Karmin dan Lurah
Kaliwangan, diketahui bahwa Lurah Kaliwangan memiliki rencana busuk dan
lain-lain. Oleh karena itu cerita ini memiliki alur yang terdapat dalam bingkai
cerita, di mana cerita-cerita kecil dikumpulkan menjadi satu.
2.3.3
Penokohan
Penokohan
adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode
penyajian watak tokoh. Pertama, metode
analitis / langsung /diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara
memaparkan watak tokoh secara langsung. Kedua, metode dramatik/tak
langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan
lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan
fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Sedangkan berkaitan
dengan penokohan, tokoh dalam sebuah karya sastra dapat dibagi dalam tiga
kategori yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tritagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh utama yang juga mempunyai suatu paham yang
berhubungan dengan tema. Dalam Novel Perburuan paham yang dimaksud adalah paham semangat
kebangsaan serta perjuangan melawan pengekangan dari Jepang. Tokoh yang
memenuhi kriteria tersebut adalah Hardo yang sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini,
karena ia sering mengajukan gagasannya yang berisi usaha perjuangannya melawan
Jepang an berpikir bahwa Jepang bisa dikalahkan. Gagasan tersebut yang kemudian
dituturkan lewat dialognya dengan beberapa orang, salah satunya dalam adengan
di mana ia sedang bersama Dipo, kawannya, ia berkata,”Hindia Belanda yang
begitu kuat di tanah air kita bisa ditumbangkan oleh Nippon (Jepang) dalam
beberapa puluh hari saja. Ingatlah itu. Nippon pun akan tumbang pula di tanah
air kita ini.”[4]
Tokoh protagonis lainnya adalah
Dipo, teman Hardo yang memiliki paham yang hampir sama dengan sang tokoh utama,
namun bedanya, ia tidak berpikir bahwa Jepang dapat dikalahkan begitu saja oleh
Indonesia. Buktinya, ia berkata,” Engkau memperjudikan angan-angan, Hardo!”[5] Ia tidak mempercayai mimpi Hardo,
namun ia sebetulnya sangat mendukung gagasan dari tokoh utama, yaitu bahwa
mereka semua harus bertindak untuk melawan Jepang. Selain itu ada pula Mohamad
Kasim, ayah dari tokoh utama yang sangat mendukung Hardo. Buktinya, dalam
sepanjang bab dua terdapat beberapa dialog yang dilakukan antara ayah Hardo
dengan Hardo sendiri, dan ayah Hardo mengatakan bahwa ia sangat ingin bertemu
anaknya untuk melindunginya dari buruan Jepang. Ada pula tokoh yang dinamis,
yang berubah dari tokoh antagonis menjadi protagonis. Tokoh tersebut bernama
Karmin. Ia adalah orang Indonesia yang asalnya mendukung paham yang dianut
tokoh utama, namun karena sakithati oleh tunangannya, ia berubah menjadi tokoh
antagonis. Ia berbalik mendukung Jepang. Namun pada akhir cerita, yaitu di bab
empat, ia mendukung paham yang dianut oleh tokoh utama dengan bersedia
menyerahkan dirinya untuk dibunuh oleh rakyat Indonesia yang merasa
dikhianatinya.
Jenis tokoh lainnya adalah tokoh
antagonis, di mana tokoh ini adalah tokoh yang menentang gagasan tokoh utama.
Tokoh tersebut memiliki paham bahwa Indonesia tidak perlu merdeka, karena bila
Indonesia merdeka, kekayaan dan jabatan mereka akan turun. Tokoh yang memenuhi
syarat tersebut adalah komandan Jepang yang tidak diketahui namanya. Ia begitu
mendukung Jepang dan bertindak semena-mena pada rakyat Indonesia. Ia juga
bersandar pada kekuasaan mereka agar orang Indonesia takut pada mereka dan pada saatnya ia tidak bisa
bersandar pada Nippon karena Indonesia telah merdeka, ia bebalik memohon ampun
pada Indonesia pada bab empat. Selain itu ada juga Lurah Kaliwangan yang juga
mementingkan harta. Ia berkata,”…dengan jalan ini Den Hardo akan lenyap dan Den
Karmin bisa mengambil tempat di sisi Ningsih” .[6] Dalam cerita, Hardo adalah pengemis
dan Karmin adalah seorang komandan milik Jepang yang kekayaannya jauh di atas
Hardo. Lurah Kaliwangan, yang merupakan
ayah dari Ningsih merasa senang bila Ningsih menikah dengan Karmin. Tokoh
tritagonis adalah Ningsih, yang setia pada gagasan Hardo untuk melawan Jepang karena ia juga merupakan tunangan
Hardo. Namun walaupun begitu, bila kehadiran Ningsih tidak ada, tidak akan mempengaruhi jalan cerita,
karena tokoh tersebut hanya sekedar variasi dari cerita, karena tokoh tersebut
lebih menekankan pada suasana romantis bersama Hardo. Selain itu ada juga
Kartiman, seorang pendukung Hardo yang secara tersirat mendukung Hardo karena
ia melakukan pemberontakan bersama Hardo, namun ia tidak berkata apapun dalam
cerita.
2.3.4 Latar atau Setting
Latar
tempat yang ada dalam novel tersebut adalah di sebuah desa dekat kali yang
kumuh. Desa itu berada di Blitar, Jawa Timur, yang pada waktu jaman penjajahan
Jepang masih banyak pengemisnya serta sawah-sawahnya. Latar waktu yang
digunakan nover Perburuan adalah pada akhir masa penjajahan
Jepang. Hal ini karena dalam bab pertama dan kedua memang belum diceritakan
latara waktu yang spesifik, hanya cerita bahwa saat itu tokoh utama sedang
dikejar oleh Jepang karena ia merupakan penghianat Jepang yang sedang
menjajahnya. Namun pada bab ketiga dan keempat ada tokoh yang mengatakan bahwa
ada berita besar, bahwa kemarin ada orang yang berkata bahwa Indonesia sudah
merdeka. Namun karena seperti yang kita tahu bahwa proklamasi diadakan di
Jakarta, diperlukan waktu beberapa hari untuk menyampaikan berita kemerdekaan
itu karena dahulu alat komunikasi tidak secanggih sekarang. Maka dapat
dipastikan latar waktu yang digunakan dalam novel ini adalah ketika akhir jaman
penjajahan Jepang. Suasana yang terdapat
dalam novel tersebut adalah rasa takut akan Jepang, namun ada pula keoptimisan
dari beberapa orang akan hancurnya Jepang di tanah Indonesia. Seperti pada
kalimat,”Hindia Belanda yang begitu kuat di tanah air kita bisa ditumbangkan
oleh Nippon (Jepang) dalam beberapa puluh hari saja. Ingatlah itu. Nippon pun akan
tumbang pula di tanah air kita ini.[7]
2.3.5 Sudut Pandang
Sudut
pandang yang dipakai dalam novel Perburuan adalah seorang
juru cerita yang objektif yang menata apa yang terjadi. Hal ini dikarenakan
dalam menguraikan cerita, pengarang menggunakan banyak kalimat langsusng untuk
menggambarkan dialog serta menggunakan narasi untuk menggambarkan latar cerita.
Dalam novel tersebut pengarang juga menulis mengikuti jalan cerita tanpa tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya, oleh sebab itu pengarang tidak berdiri di
atas cerita.
2.4 Memaknai Penderitaan dalam Novel Perburuan
Dalam arti luas
penderitaan dapat didefenisikan sebagai nada perasaan yang berlawanan dengan
kesenangan. Penderitaan merupakan keadaan yang tidak menyenangkan dalam semua
bentuk dan tingkatannya, baik secara jasmani, rohani maupun mental.[8] Tidak
semua penderitaan menghancurkan manusia. penderitaan dapat pula membantu
manusia untuk membangun diri dan membuktikan diri. Kehadiran penderitaan justru
menantang manusia supaya mengembangkan segala kemampuan yang ada padanya, serta
membuka diri untuk berjuang menuju suatu perubahan yang lebih baik.
Setiap perjumpaan dengan penderitaan
seringkali melahirkan kepedihan dan rasa putus asa oleh mereka yang
mengalaminya. Banyak pemikiran telah berkembang guna mencoba memahami arti dan
makna penderitaan. Gereja sendiri misalnya mengajarkan bahwa Allah menciptakan
dunia dan manusia karena kebaikan-Nya dan untuk membagikan kebahagiaan-Nya
sendiri. Sungguh pun demikian, berhadapan dengan penderitaan pelbagai teori dan
ajaran tetap tidak menutup seluruhnya penderitaan sebagai realitas yang
menggelisahkan umat manusia. Dalam perspektif kristiani, konsep penderitaan
tidak dapat dipisahkan dari kenyatan dosa. Dosa merupakan akar penderitaan.
Meski demikian, di sisi lain pemahaman penderitaan dalam Kitab suci juga
memperlihatkan adanya penderitaan yang muncul bukan karena akibat dosa. Dalam
dua konteks penderitaan ini, iman kristiani menemukan dalam diri Krsitus yang
menderita sebuah dorongan untuk berkanjang dalam penderitaan.
Agustinus dari Hippo (354-430)
mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami di dunia ini mempunyai makna.
Sebab penderitaan akan berguna bagi sesuatu yang belum kita kenal seluruhnya.
Maka manusia perlu mengenal rencana
Allah, yang sudah mengatur semuannya pada tempatnya, sehingga semua aspek pengalaman
dapat dinilai secara benar dan tepat. Di samping itu, Ia juga mengatakan bahwa ada
penderitaan yang berada di luar rancangan Allah untuk mewujudkan dunia yang
harmonis. Sebab di dalam dunia yang diciptakan, dapat saja terjadi hal-hal yang
tidak direncanakan dan dikehendaki Allah. Namun sebagai pencipta, Allah
memiliki kesanggupan untuk memulihkan penderitaan itu dengan menjadikannya
sebagai sarana pembelajaran dan pertobatan, darinya manusia semakin mendalami
rahasia ciptaan dan menekuni jalannya menuju Allah[9].
Ireneus tidak menyangkal gagasan yang dikemukan oleh
Agustinus. Ia mengatakan bahwa manusia selalu memandang penderitaan secara
negatif. Mereka mempersoalkan penderitaan dan berupaya untuk menciptakan banyak
ketenangan dalam diri. Padahal pada dasarnya penderitaan bukanlah hukuman
tetapi syarat mutlak pertumbuhan kita menjadi anak-anak Allah. Penderitaan
mendorong ciptaan-ciptaan-Nya mencapai tujuan kepenuhan dan kesempurnaan akhir
dalam mengasihi dan melayani Dia Yohanes
Krisostomus mengatakan bahwa penderitaan mempunyai fungsi untuk memberi silih,
menguduskan dan memuliakan. Maka kemartiran dipandang sebagai jalan untuk
mengikuti Yesus, awal dari kemuridan yang sempurna. Sehingga salib dilihat
sebagai bentuk sempurna eksistensi Kristiani.
2.4.2 Penderitaan sebagai Cobaan
Allah Atas Kualitas Iman Manusia
Kenyataan penderitaan adalah problem bahkan misteri yang sulit dipecahkan
dengan akal sehat manusia. Sebagai animal rationale manusia tidak akan berhenti
bergulat dengan penderitaan. Sebagai makhluk berkesadaran, manusia sadar akan
penderitaan itu.
Penderitaan menyentil titik kesadaran manusia untuk memahami makna penderitaan. Kesadaran menggiring budi manusia pada suatu dimensi pemahaman, bahwa manusia adalah makhluk rapuh, lemah dan tidak berdaya. Manusia mengalami kekosongan dan ketidakberartiran diri. Daya dan potensi manusiawi tidak mampu mengelakkan sepak terjang penderitaan. Penderitaan mengarahkan pikiran dan nurani manusia menuju kepada suatu horizon yang lain. Penderitaan membuka pemahaman manusia akan kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu transenden, melampaui realitas indrawi. Pada titik ini manusia beriman memahami bahwa segala kejadian kosmos termasuk evolusi benda dipengaruhi oleh daya kuasa ilahi. Maka penderitaan yang dialami manusia bukan tidak mungkin terjadi karena penyelenggaraan ilahi. Dalam arti ini penolakan terhadap penderitaan bukanlah sikap iman dan bukan juga sikap bijaksana kaum beriman. Seorang beriman memahami segala peristiwa harian dalam nuansa dan perspektif religius-teologis. Sikap kristiani yang sehat terhadap diri adalah mengakui dan menerima kondisi manusia yang rapuh, walaupun konsekuensi penerimaan ini membawa penghancuran diri manusia secara psikologis.
Penderitaan menyentil titik kesadaran manusia untuk memahami makna penderitaan. Kesadaran menggiring budi manusia pada suatu dimensi pemahaman, bahwa manusia adalah makhluk rapuh, lemah dan tidak berdaya. Manusia mengalami kekosongan dan ketidakberartiran diri. Daya dan potensi manusiawi tidak mampu mengelakkan sepak terjang penderitaan. Penderitaan mengarahkan pikiran dan nurani manusia menuju kepada suatu horizon yang lain. Penderitaan membuka pemahaman manusia akan kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu transenden, melampaui realitas indrawi. Pada titik ini manusia beriman memahami bahwa segala kejadian kosmos termasuk evolusi benda dipengaruhi oleh daya kuasa ilahi. Maka penderitaan yang dialami manusia bukan tidak mungkin terjadi karena penyelenggaraan ilahi. Dalam arti ini penolakan terhadap penderitaan bukanlah sikap iman dan bukan juga sikap bijaksana kaum beriman. Seorang beriman memahami segala peristiwa harian dalam nuansa dan perspektif religius-teologis. Sikap kristiani yang sehat terhadap diri adalah mengakui dan menerima kondisi manusia yang rapuh, walaupun konsekuensi penerimaan ini membawa penghancuran diri manusia secara psikologis.
2.4.3
Penderitaan Sebagai Pemurnian Hati
Penderitaan bernilai secara
moral. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dengan penderitaan manusia secara
perlahan mulai membenah diri dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama.
Penderitaan yang dialami yang diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami seperti
yang dialami masyarakat di Aceh dapat memurnikan hati orang-orang yang sedang
bertikai. Para pemberontak, seperti GAM akhirnya untuk sementara menyerahkan
diri dan ingin berdamai dengan TNI, karena mereka percaya bahwa gempa dan tsunami
adalah salah satu kutukan dari Allah atas perbuatan mereka. Selain itu penderitaan menyentil manusia untuk
menyerahkan diri secara total ke dalam penyelenggaraan ilahi. Manusia yang
mengalami pemurnian hati atas penderitaan itu akan selalu menunggu kapan Tuhan
mengerjakan karya-karya ajaib-Nya. Manusia menunggu kapan Tuhan
menyelesaikan rencana-Nya dalam diri manusia. Tuhan mematikan kita, membedah hidup
kita, memasukkan dan mengambil keluar bagian-bagian dari diri kita dan hidup
kita. Situasi penderitaan menggurui manusia untuk belajar memurnikan hati dan
memasrahkan diri secara total dan paripurna ke dalam tangan Tuhan.
2.4.3 Allah
Pengharapan Bagi yang Menderita (Sebuah tinjauan teologis terhadap Novel Perburuan)
Penderitaan
yang dialami manusia kadangkala membuat seseorang tergerak untuk kembali
berbalik kepada Tuhan, meski itu hanya nampak dalam ungkapan verbal yang sangat
sederhana, tetapi lahir dari keyakinan yang sudah mengakar dalam dirinya. Dalam
kisah Perburuan nampak bahwa Hardo meninggalkan kehidupan normalnya dan dalam
masa pengejaran Nippon ia mengasingkan diri dalam sebuah gua. Dalam pengasingan
dan dalam pertapaan ini Hardo menemukan sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan
hidupnya. Akhirnya dia memilih jalan menjadi kere. Hardo juga merasakan bahwa
keinginannya yang utama yaitu masuk dalam kebahagiaan Allah. Hal ini nampak
dalam keinginannya untuk menuju Bintang. Bintang di sini yang dimaksud adalah
keinginan untuk kembali kepangkuan Allah.
Hal lain
yang ditonjolkan Pramoedya misalnya dalam ungkapan sederhana saat beberapa
tokoh dalam novel Perburuan itu di hadapan penderitaantokoh Muhamad Kasim, ayah
Hardo yang hanya mengungkapkan “Oh Allah” [10]
saat dia mengenang nasib sial yang menimpanya. Ungkapan verbal sederhana ini
sebenarnya merupakan suatu ekspresi pengharapan yang terakhir kepada Allah
dalam situasi kehilangan segalanya, ia hanya menaruh pengharapan pada Allah.
Ekspresi yang demikian juga nampak dalam pribadi Hardo. Hardo adalah sosok yang
sangat menderita secara fisik dan batiniah karena dikejar-kejar oleh Nippon dan
juga dia adalah sosok yang ditolak oleh kenalannya. Dalam penderitaannya itu,
keti tak ada sesuatu pun yang diharapkan dapat membantu, dia memilih jalan
untuk bertapa, mencari Allah dalam keheningan. Ia yakin bahwa Allah masih bisa
diharapkan dan Allah bisa mengakhiri semua penderitaannya. Perjalanan spritual
seorang manusia itu melahirkan suatu totalitas diri yang memiliki kerinduan
yang mendalam akan Allah.
Di
hadapan Tuhan Hardo merasa kecil dan tidak berarti. Ia lalu bersujud dan
menyembah dan mengagungkan-Nya. Hardo
menyebut Allah sebagai Bintang, yang ada di atas langit atau Allah sebagai yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi.
3. Penutup
Penderitaan merupakaan
suatu hal yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Penderitaan yang dialami
manusia kadang membuat manusia bertanya
“ mengapa Allah tega berbuat begini terhadap kita?”. Manusia selalu menilai
bahwa penderitaan itu merupakan hukuman dari Allah. Lebih dari itu sebenarnya
penderitaan yang menimpah manusia mau menunjukan bahwa Allah ingin mencabai
manusia agar mereka sungguh yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Allah ingin
manusia berharap penuh kepada-Nya. Situasi penderitaan yang ditunjukan dalam
novel Perburuan ini mau menunjukan bahwa dalam situasi penderitaan mereka
menemukan Allah sebagai sumber pengharapan. Kekuasaan duniawi mampu dikalahkan
dan tidak akan abadi karena hanya Tuhanlah yang Maha Kuasa.
Oleh: Isto Dua dan Vian Atika
Karya ini dipersentasekan sebagai bahan seminar Teologi dan Sastra
DAFTAR
PUSTAKA
Banawiratma, J. B.
(edit), Hidup Dunia Sukacita Allah . Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Kleden, Paul Budi, SVD, Membongkar Derita Teodice:Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Maumere: Ledalero, 2006.
Ralph Sockman W, Makna
Penderitaan. Malang: Gandum Mas,
1961.
Toer Pramoedya Ananta, Perburuan. Jakarta: Hasta Mitra, 2002.
INTERNET
http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer, diakses tanggal 28 April 2011
1 komentar:
Suka dh baca ini, ternyata banyak yg menderita dan masih ingat Tuhan, jd semangath neeh..
Manctab....
Posting Komentar