Laman

Minggu, 01 April 2012

DAMPAK PERANTAUAN TERHADAP KEHIDUPAN BERKELUARGA





Oleh Desideratus Mariano Amdingsaputro *

I.       Pengantar
            Perantauan adalah fenomena yang telah lama dihidupi masyarakat Indonesia, lebih khusus lagi dalam kehidupan masyarakat NTT. Realitas perantaun seakan menjadi budaya yang telah dihidupi sejak zaman dahulu dan makin popular di zaman sekarang. Kalau kita mau menghitung mundur ke belakang, sebenarnya banyak sekali orang Flores yang memilih merantau di daerah lain. Kebanyakan ke Jawa dan Bali.[1] Namun, tak sedikit juga yang merantau ke Kalimantan, Papua, Sulawesi, Sumateta bahkan jauh ke negeri Jiran sana. Semuanya pasti memiliki alasan tersendiri mengapa harus meninggalkan tanah kelahirannya. Memang merantau sebenarnya bukanlah keinginan setiap orang sejak kecil. Namun karena ada beberapa hal yang kemudian membuat orang Flores, “terpaksa” pergi meninggalkan Flores dan merantau ke luar.
            Hal mendasar yang mendorong orang untuk merantau adalah untuk mengadu nasib dan mencari kesuksesan. Atas dasar inilah maka kebanyakan orang meninggalkan sanak keluarga, kampung halaman dan mengadu nasib di tanah rantau. Perantauan yang pada awalnya merupakan sebuah usaha luhur kini telah mengalami pergeseran. Salah satu hal utama yang disoroti yaitu menurunnya moral manusia. Sejauh ini kita dapat melihat bahwa banyak kasus yang menimpa para perantu kita. Berhadapan dengan situasi ini, Gereja Katolik harus menanggapinya secara serius. Gereja harus peka melihat realitas seperti ini. Karena persoalan ini mengancam keutuhan keluarga Katolik.
II. Memahami Fenomena Perantauan
2.1  Makna Perantauan
            Term perantauan berasal dari kata “rantau” yang berarti daerah diluar daerah/ negeri sendiri. Perantauan berarti negeri tempat orang mencari penghidupan, daerah yang didiami orang yang berasal dari daerah lain. Kata kerja merantau berarti pergi ke daerah/ Negara lain untuk mencari penghidupan. Pelakunya disebut perantau.[2] Golongan orang-orang yang meninggalkan kampung halaman dan menuju ke tanah rantau dapat dibedakan menjadi dua golongan. Pertama, golongan terpelajar. Mereka ini merupakan golongan yang terdiri dari para remaja yang berangkat ke tanah rantau dengan motif untuk studi atau specialiced training.[3] Kedua, Golongan perantau yang tidak memiliki keterampilan yang memadai. Mereka rata-rata berekonomi lemah dan berpendidikan minim saja.[4]
            Para perantau Indonesia yang berada di luar negeri, khususnya yang tersebar di beberapa Negara asia lebih dari dua juta orang termasuk pekerja ilegal. Mengadu kesuksesan di tanah rantau bukanlah hal yang mudah dan selalu berhasil. Kadang pula para perantau harus bergulat dengan penderitaan fisik dan batin. Daerah rantau kadang menjadikan mereka sebagai sasaran perlakuan buruk, hak asasi mereka diinjak-injak dan tidak mendapat perlindungan hukum. Lebih sadis lagi mereka diperlakukan semena-mena oleh majikan mereka.
2.2 Alasan dan Tujuan Perantauan
2.2.1 Aspek Ekonomi
            Berdasarkan fakta, mayoritas masyarakat Flores bermata pencaharian sebagai petani. Masalah yang paling mendasar bagi keluarga-keluarga Flores adalah kemiskinan dan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat. Di saat kebutuhan harian makin meningkat, di saat itu pula kemiskinan terus menanjak. Sebuah perbandingan yang sangat menyiksa masyarakat Flores. Jumlah pendapatan yang diperoleh justru berbanding terbalik dengan angka kemiskinan. Semakin tinggi dan banyak pendapatan yang diperoleh, semakin banyak juga kebutuhan harian dengan tingkat harga yang melambung pula. Pergerakan ekonomi di daerah lain bergerak jauh lebih cepat dari pergerakan ekonomi di daerah Flores. Kemiskinan ini menutup dan mengekang semua lapisan masyarakat Flores, tanpa kecuali. Hampir tidak ada satupun golongan masyarakat Flores yang berada di luar lingkaran kemiskinan, kecuali para pejabat. Kemiskinan seakan menjadi “duri dalam daging” bagi masyarakat Flores. Di tanah yang gersang, dengan tingkat pendapatan yang kecil, orang-orang Flores masih harus berjuang untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan harian mereka. Sungguh sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan.
Kemiskinan ini berdampak langsung terhadap kurangnya infrastruktur memadai di Flores dan meningkatnya angka pengangguran di Flores. Bicara soal infrastruktur, Flores kalah segala-galanya. Sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana pemerintahan, semuanya sangat minim. Tak ada toko buku yang bisa diakses dengan mudah. Tak ada rumah sakit dengan pelayanan prima. Sungguh sangat menyedihkan, mengingat daerah terpencil seperti Flores, harusnya membutuhkan pembangunan di bidang infrastruktur. Keadaan ini sungguh terasa menyedihkan karena mayoritas masyarakat Flores sangat merindukan infrastruktur yang memadai dengan kemudahan aksesibilitasnya. Lain infrastruktur, lain pula soal pengangguran. Pengangguran itu adalah hasil “perkawinan” antara kemiskinan yang meningkat dan lapangan pekerjaan yang terbatas. Seperti itulah keadaan di Flores. Di saat kemiskinan dan angka kelahiran yang terus meningkat, lapangan pekerjaan malah semakin menipis. Satu-satunya pekerjaan yang membuka lowongan rutin tiap tahun hanyalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun, akibat dari kurangnya pendidikan masyarakat Flores kala itu, PNS pun tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk ‘berlabuh’. Di saat yang bersamaan, PNS sudah dirasakan tidak mampu menjawabi zaman yang semakin cepat berlari ke depan. Generasi muda di NTT seolah kehilangan masa depan. Mau merantau, tak punya duit. Mau bekerja, tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Pun tak ada industri-industri kreatif yang berkembang di Flores. Alhasil, generasi muda Flores lebih mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan, di pinggir (dekker) jembatan, duduk bergerombolan, menenggak minuman keras dan akhirnya menciptakan berbagai keresahan di tengah masyarakat.
Kemiskinan dan pengangguran ini semakin diperparah dengan menurunnya produktivitas sektor unggulan di Flores, yaitu pertanian. Banyak orang bilang Flores itu hanya cocok untuk pertanian. Sayangnya, pertanian itu identik dengan kemiskinan. Apalagi, saat ini, pertanian dirasa sudah tidak kontekstual lagi, tidak mampu menjawabi tantangan zaman. Lihat saja, berapa banyak generasi muda yang kuliah dan mengambil mata kuliah pertanian? Berapa banyak anak-anak muda Flores, yang setelah selesai kuliah, kemudian kembali dan mengembangkan kebun milik orangtuanya? Sangat kecil jumlahnya. Mau sampai kapan Flores bertahan dengan pertanian subsisten, sementara masyarakat luar sudah mulai berkembang dan maju dengan ilmu-ilmu terapan lainnya? Dunia itu terus berubah. Di dalam sebuah dunia yang dinamis, stagnasi bisa dianggap sebagai sebuah kemunduran. Alasan-alasan ekonomi inilah yang akhirnya memantapkan orang-orang Flores mengambil keputusan untuk memilih jalan merantau. Mereka hanya mau keluar dari jerat kemiskinan yang ada. Bukankah seorang anak harus bercita-cita menjadi lebih baik dari orangtuanya?

2.2.2 Aspek Sosio Kultural

Selain masalah ekonomi, kondisi sosio-kultural pun turut mempengaruhi orang-orang Flores memutuskan meinggalkan tanah Flores. Pertama, terlalu kuatnya adat yang mengekang masyarakat Flores. Orang Flores itu terkenal memegang teguh adat istiadat yang ada. Sayangnya, hal ini justru membuat orang Flores semakin “mengkultuskan” adat istiadat. Sedangkan dalam sebuah dunia yang modern, kita perlu untuk sesekali “meninggalkan” adat istiadat yang terlalu mengekang. Jika adat istiadat dirasakan tidak membawa masyarakat Flores ke arah kesejahteraan, kenapa harus tetap dipertahankan? Bukankah adat istiadat harus disesuaikan dengan perkembangan zaman? Setiap acara atau ritual adat maupun keagamaan di Flores, hampir pasti ada saja yang dikorbankan. Entah itu kerbau, sapi, babi, anjing, beras, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Semua ini tentunya mempunyai harganya masing-masing. Kadang, untuk sebuah urusan adat, orang Flores harus berhutang. Sederhananya, gali lubang tutup lubang. Kedua, Flores masih kental dengan nilai-nilai primordialisme. Walaupun berada dalam satu pulau, orang Flores masih terkotak-kotak dalam perbedaan suku, kabupaten maupun bahasa. Di dalam sebuah dunia yang terus berkembang, primordialisme kadang menjadi penghambat pembangunan. Bagaimana mau maju kalau perjuangan menuju kemajuan itu masih dilakukan daerah per daerah atau golongan per golongan? Satu yang aneh adalah, jika berada di luar Flores, orang Flores bersatu sebagai satu Flores. Itu pun masih terbatas dalam hal-hal tertentu. Namun, di dalam Flores sendiri masih terjadi berbagai konflik atas nama suku dan daerah.
2.3 Dampak Perantauan
            Salah satu dampak positif dari perantuan ialah meningkatnya pendapatan bagi keluarga asal perantau. Kita lihat saja kehidupan nyata yaitu bahwa seseorang rela menjual segala macam harta misalnya saja tanah, ternak dll, hanya untuk bekal menuju tanah rantau. Semua ini tidak mereka perhitungkan, yang penting bisa merantu. Rupanya tanah rantau telah menjadi “firdaus” yang indah dan diidam-idamkan serta menjadi tanah terjanji bagi mereka.
            Selain dampak positif, muncul pula dampak-dampak negatif dari perantauan. Pertama, seorang suami yang merantau harus meninggalkan anak-istri di kampung halamannya. Konsekuensi dari hal ini, istri dan anak harus menghidupi diri sendiri. Situasi kesendirian ini dapat melahirkan hilangnya rasa tanggung jawab dan kesetiaan dari suami-istri. Juga membuka ruang bagi terciptanyan dampak negatif seperti perselingkuhan dan ketidakseimbangan perkembangan anak. Biasanya sang istri yang ditinggalkan akan merasa sungguh tertekan bila sang suami yang sudah lama merantau tidak memberikan kabar berita kepadanya. Berbagai isu dan gosip mulai berkembang bahwa sang suami telah mempunyai istri lagi di tanah rantau. Hal ini tentunya menyebabkan keretakan dalam rumah tangganya.
            Kedua, dampak lain dari perantauan yaitu aktivitas kemasyarakatan orang desa dan keagamaan didominasi oleh kaum perempuan. Tidak heran bila yang selalu menghadiri perayaan kebaktian agama didominasi oleh kaum wanita. Ketiga, problem moral. Kemajuan industri di tanah rantau memacu deviasi moral. Pergaulan bebas, free seks, hamil di luar nikah, narkoba, perjudian menjadi fenomena buruk bagi para perantau.
2.4 Dampak Perantauan Bagi Keluarga
            Dampak dari perantauan telah merasuk jauh kedalam kehidupan keluarga. Praksisnya dalam keluarga tidak ada lagi kepala keluarga. Padahal dalam kehidupan masyarakat kita, eksistensi kepala keluarga sangat menentukan keberadaan sebuah keluarga. Sama halnya dalam doktrin Kristiani, ditandaskan bahwa perkawinan dimaksudkan agar mereka yang terlibat mempunyai anak, diberkati dengan perhatian dan mendidik mereka demi kehendak Allah, demi pujian dan kemuliaan.[5] Dalam keluarga perantau, tujuan perkawinan untuk mendapat dan mendidik anak demi kehendak dan kemuliaan Allah bukan menjadi ideal pertama. Anak berkembang dalam asuhan ibunya maka mereka hanya mengenal ibu. Tidak akan ada kemesraan antara bapak dan anak sama seperti antara anak dan ibu. Kadang pula terjadi sang ayah yang baru pulang dari perantauan melihat anak gadisnya bukan lagi dengan naluriah kebapaan namun lebih pada naluri yang pada akhirnya menuju inses.
            Tidak adanya relasi seksual secara normal dalam jangka waktu yang panjang, dapat berakibat fatal bagi istri sebagai pihak yang dikorbankan, dan bagi keutuhan keluarga. Sang istri akan mengalami tekanan psikis sehingga sering terjadi sang istri jatuh ke tangan laki-laki lain. Karena tuntutan biologis dan tak pastinya pengiriman uang, terpaksa dia menerima laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab.

III. Peranan Gereja Menghadapi Iklim Buruk Perantauan
            Fenomena perantauan yang kian meningkat dan memburuk telah menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Dalam hal ini gereja pun juga harus turut berpartisipasi dalam menanggapi masalah ini. Membengkaknya jumlah perantauan merupakan salah satu bukti bahwa manusia salah menggunakan kebebasan. Mengapa hal ini terjadi? Karena zaman sekarang yang mendorong seseorang untuk merantau bukan hanya karena motif mencari nafkah, namun juga karena orang merasa tergiur dengan pesona kota-kota besar.
3.1 Pastoral Keluarga dalam Menghadapi Fenomena Perantauan
            Maraknya fenomena perantauan menjadi tantangan sekaligus peluang untuk berpastoral secara baru. Gereja harus berjuang keras menghadapi situasi konkret ini. Gereja harus berani turun dan mulai berdialog dengan umatnya, terutama umat-umat dari golongan kecil dan miskin, gereja yang sungguh lokal dan mempribumi, berdialog dengan semua orang khususnya orang miskin.[6] Gereja atau agen pastoral harus menyokong pengentasan kemiskinan dan harus memelihara nilai-nilai otentik dari kepribadian atau kehidupan keluarga.
            Berhadapan dengan fenomena perantauan, Paus Yohanes Paulus II menyerukan suatu usaha pastoral yang lebih siap, bijaksana dan arif menurut teladan gembala yang baik bagi keluarga-keluarga yang diluar kemauan mereka atau keadaan sulit lainnya harus bergulat dengan situasi yang sulit. Maka dari situ, sikap pastoral gereja yaitu, memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga akan dampak negatif dari perantauan, misalnya melalui kegiatan katekese dan pembinaan iman lainnya. Ada dimensi penting yang perlu dipersiapkan sebelum merantau. Untuk itu gereja harus berperan dalam penanaman nilai spiritual ke dalam diri para perantau. Gereja harus memberikan pemahaman dan peneguhan iman bagi anggota keluarga perantau, khususnya kesetiaan anggota keluarga yang ditinggal pergi.

IV. Penutup
            Realitas perantauan dewasa ini menjadi hal yang sulit untuk dibendung.berbagai realitas kelam di tanah perantaun tidak mengurangi kemauan untuk merantau. Memang banyak orang yang menuai keberhasilan di tanah rantau, namun selain itu pula pelecehan moral juga tumbuh secara subur karena perantauan. Salah satu dampak utamanya yaitu bagi kehidupan berkeluarga. Keutuhan keluarga kadang mulai mengalami keretakan akibat tindakan ini. Berhadapan dengan situasi seperti ini, gereja harus mulai menunjukan keberpihakannya dalam menyelamatkan umat manusia. Karya pastoral gereja sesungguhnya harus secara langsung menyentuh umat yang mengalami fenomena tersebut. Tidak semua perantau mengakhiri ziarah migrasinya dengan membawa kesuksesan. Ada yang secara material sukses namun gagal secara spiritual, atau pun sebaliknya. Untuk itu mereka perlu ditolong. Siapa yang harus menolong? Yang pasti bahwa siapa saja dapat menolong untuk penemuan diri utuh secara jasmani dan rohani.
·         Calon Imam Keuskupan Maumere



[1] Abdul Haris, Kucuran Keringat dan Derap Pembangunan  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), p.17.
[2] Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).  p. 728.
[3] Yosef Lalu, Kembali Ke Desa Tinggal Di Desa (Jakarta: Komisi kepemudaan KWI, 1999), p.2
[4] Ibid.,
[5] Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen ( Yogyakarta: Kanisius, 2000), p.53.
[6]  San Fernando, “La Union”, dalam Georg Kirchberger dan John M Prior (ed), Mengendus Jejak Allah I (Ende: Nusa Indah, 1997), p. 100.

SWR (November 2011)


NOVEMBER
Atraksi THS
Komunitas ritapiret dalam kehidupannya juga mendidik pendekar-pendekar handal pembela kebenaran. Mereka dilatih dalam pelbagai aspek diantaranya aspek rohani dengan bermeditasi, berdoa dan sebagainya, aspek fisik yakni dengan berlatih jurus-jurus pamungkas dari A sampai Z. di bawah arahan fr. Egy bonur, fr. Aris saka, fr. Risno maden… ketahanan fisik mereka telah teruji. Kaki mereka keras laksana batu yang mampu memecahkan beling, siapa pernah menyangka kalau tangan-tangan halus itu mampu memecahkan genteng.. wah mereka hebat bukan kepalang.. ada yang berminat? Silahkan masuk kelompok minat THS. Sebelum melakukan atraksi  di dalam komunitas  ritapiret, para anggota THS melakukan pelbagai latihan dan meditasi. Meditasi bagi mereka merupakan ajang untuk  mempersiapkan diri da n memohon dukungan dari Tuhan se be lum melakukan pementasan. Alhasil…usaha mereka tidak lah sia-sia. Mereka tampil perkasa dan kelihatan jantan meskipun ada insiden  kecil  yang cukup mencemaskan.

28 November Pembukaan masa Adven
Di usianya yang tidak dapat dikatakan muda lagi Rm. Pede masih bersemangat memimpin misa pembukaan masa adven. “masa adven merupakan masa penantian. Kita menantikan kedatangan jurus selamat yang akan membebaskann kita dari belenggu dosa..” demikian kothbahnya. Kearisti minggu pagi itu  bagitu khusyuk, sesepuh  di Ritapiret itu mencoba menampilkan ekaristi yang ber semangat, hal ini ter lihat dari semangatnya. Doa damai yang dituturkannya begitu mendalam sambil menyelipkan pesan-pesan yang ada dalam bacaan. Itulah kreativitas Rm. Pede yang tak kunjung sirna.

Karyawan menerima kunjungan mudika Bloro
 Emon, sil dkk kali ini harus bertindak sebagai tuan rumah dalam acara penerimaan mudika bloro. Kedatangan mudika bloro ini merupakan kunjungan balasan terhadap karyawan/ti ritapiret yang beberapa waktu lalu mengunjungi bloro dalam rangka pengembangan pastoral. Kunjungan ini diwarnai dengan beberapa pertandingan diantaranya  volley putera dan puteri. Karyawan/ti ritapiret turun dengan kekuatan penuh dan berhasil mematahkan perlawanan  mudika bloro.

 Pentas band lela
Minggu 14 november, Lela dihebohkan dengan aksi panggung para frater melalui pagelaran band.  Sebagai ajang pengembangan bakat dan minat di bidang music, para frater ritapiret khususnya sie music instrument mengadakan pementasan band di lela.

50 tahun Alma
Sebuah lembaga sosial yang menampung anak-anak cacat merayakan ulang tahunnya yang ke 50. Bertempat di halaman komunitas alma perayaan ekaristi peringatan ulang tahun yang 50 itu  berlangsung dan dipimpin oleh Mgr. Kherubim, SVD. Ekaristi yang seharusnya disinyalir akan berlangsung meriah, diredam oleh padamnya listrik. Kor yang pada awalnya meriah pun terhenti akibat arus yang tak mampu nmenghidupkan alt-alat music.                                        


PESAN PAUS BENEDIKTUS XVI UNTUK HARI PERANTAU DAN PENGUNGSI SEDUNIA PARA PERANTAU DAN EVANGELISASI BARU




Diterjemahkan oleh Tinus Ama *

Berikut ini merupakan pesan dari Yang Mulia Paus Benediktus XVI untuk memperingati 98 tahun Hari Perantau dan Pengungsi Sedunia tahun 2012 dengan tema:Migrasi dan Evangelisasi Baru” yang akan diperingati pada 15 Januari 2012.
Saudara-saudari terkasih,
Mewartakan Yesus Kristus sebagai penebus dunia merupakan esensi misi Gereja. Hal ini menjadi tugas dan misi yang amat mendesak sekarang ini (Evangelii Nuntiandi, 14). Tentu saja, pada masa sekarang dirasa amat urgen untuk memberikan daya dorong yang segar dan pendekatan baru untuk karya pewartaan  di dunia guna menghancurkan tembok pemisah dan globalisasi baru yang semakin mendekatkan tiap pribadi. Dua hal yang menjadi penyebab yaitu: perkembangan alat-alat komunikasi sosial dan mobilitas masyarakat yang begitu tinggi. Dalam situasi baru ini kita mesti membangkitkan dalam diri masing-masing kita sikap antusias dan keberanian yang dimotivasi oleh semangat komunitas Kristen perdana untuk mewartakan kebaruan Injil kemana-mana tanpa gentar. Kita hendaknya berpegang pada kata-kata St. Paulus: “Karena jika aku memberitakan injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku jika tidak memberitakan injil!” (1 Kor 9:16).
  ”Migrasi dan Evangelisasi Baru” merupakan tema yang saya pilih pada tahun ini untuk Hari Perantau dan Pengungsi Sedunia. Kenyataan ini mengajak Gereja untuk memulai suatu evangelisasi baru, yang juga merupakan fenomena luas dan kompleks dari gerakan kemanusiaan. Panggilan ini berihktiar untuk mengintensifkan aktivitas misioner baik bagi daerah yang baru membuka lahan Penginjilan, maupun bagi negara-negara yang tradisi kekristenannya sudah kuat.
Beato Yohanes Paulus II mengajak kita untuk “memperkaya diri dengan sabda untuk menjadi pelayan sabda dalam pewartaan di tengah situasi yang beragam serta tuntutan yang semakin tinggi, dalam konteks globalisasi, dan dalam keanekaragaman budaya (Novo Millennio Ineunte, 40).  Kenyataan  bahwa migrasi internal dan internasional, sebagai sebuah pencarian demi kondisi hidup yang lebih baik atau untuk keluar dari penganiyaan, peperangan, kekerasan, kelaparan atau bencana alam telah membawa konsekuensi yang belum terjadi sebelumnya  terhadap pribadi dan masyarakat. Hal ini merupakan suatu masalah baru yang bukan hanya mencakup sisi kemanusiaan, melainkan juga etika, agama, dan spiritual. Konsekuensi terkini tampak nyata dalam sekularisasi, desakan dari gerakan-gerakan sektarian dan melebarnya ketidakpedulian terhadap iman Kristen. Dampak-dampak ini mengarah pada fragmentasi yang merupakan penghambat penyatuan sebuah keluarga yang penuh persaudaraan dalam masyarakat yang multi-etnis dan beragam budaya, dimana setiap orang dari beragam religi diajak untuk mengambil bagian dalam dialog. Era kita ditandai pencobaan untuk menghapuskan Tuhan dan ajaran Gereja dari horizon kehidupan, ketika keraguan, skeptisisme dan keberbedaan merangkak pelan-pelan untuk mengeliminasi alat penglihatan sosial dan simbolik dari iman Kristen.
Dalalm konteks ini para migran yang telah mengenal Yesus Kristus tidak jarang kehilangan iman akan Yesus Kristus, menyangkal diri sebagai anggota Gereja, dan hidup tidak sesuai dengan ajaran injil dan Gereja. Hal ini disebabkan oleh daerah tujuan perantauan yang minoritas kristen, dan agama Kristen yang direduksi sebagai fakta budaya. Di sini Gereja dihadapkan dengan tantangan untuk membantu para migran dalam  menjaga api iman mereka, lebih jauh ketika para migran dicabut dari semangat budaya yang berasal dari negeri asalnya, dan membuat mereka untuk tetap berpegang pada sabda Allah. Pada beberapa kasus, hal tersebut merupakan satu kesempatan untuk memproklamirkan bahwa dalam diri Yesus kemanusiaan merupakan bentuk pengambilbagianan dalam misteri Tuhan teristimewa dalam hidup Yesus yang diwarnai oleh cinta. Kemanusiaan juga dibuka pada horizon akan harapan dan damai dan juga melalui dialog yang penuh rasa hormat dan bersaksi tentang persaudaraan. Di lain pihak di sana ada kemungkinan perwujudan kembali akan kesadaran kristiani yang telah redup melalui pembaharuan evangelisasi kabar Suka cita dan konstitensi kesadaran hidup Kristiani demi adanya kemungkinan penemuan kembali kedekatan dengan Kristus untuk menjadi kudus dimana saja berada termasuk di tanah perantauan.
Fenomena migrasi pada masa kini juga menjadi kesempatan yang ditakdirkaan demi pemaklumkan Injil kepada dunia kontemporer. Pria dan wanita dari beragam daerah di jagad ini yang belum berjumpa dengan Yesus Kristus atau hanya mengetahuinya secara parsial  dianjurkan untuk menerima tradisi Kristen tua. Sungguh hal ini baik demi menemukan cara yang memadai bagi mereka untuk bertemu Yesus dan mengenal Yesus Kristus dan mengalami sebagai hadiah berharga sebagai penebus bagi setiap orang, sebagai sumber kelimpahan hidup (bdk Yoh 10:10); dalam diri para perantau terdapat peran khusus menjadi “ bentara Sabda Allah dan saksi-saksi bagi Yesus yang bangkit, harapan seluruh dunia” (Nasihat Apostolik Verbum Domini, 105).
Para pelaku pastoral: para imam, biarawan-biarawati, serta kaum awam berperan penting dalam rencana evengelisasi baru dalam konteks perantauan. Mereka berkarya lebih banyak dalam konteks yang beragam: dalam kesatuan dengan para koleganya sesuai gambaran Magisterium Gereja. Saya  mengundang mereka semua  untuk mencari jalan bagi syering persaudaraan dan pemakluman penuh hormat, mengatasi oposisi dan nasionalisme. Tugas mereka adalah harus menemukan cara  untuk meningkatkan kerja sama demi kepentingan baik bagi siapa yang akan pergi maupun kembali, dan bagi migran yang sementara dalam perjalanan yang sungguh membutuhkan kedekatan dengan wajah Kristus. Dibutuhkan suatu pelayanan pastoral yang lebih komunio, yang mana mampu mengatasi keberbedaan budaya di tanah perantauan.
Para pencari suaka yang melarikan diri dari penganiayaan, kekerasan dan situasi-situasi penuh risiko, senantiasa membutuhkan pengertian dan sambutan sebagai bentuk penghargaan terhadap harkat dan martabatnya. Penderitaan mereka perlu dibela dengan cara menunjukkan sikap saling menerima, mengatasi ketakutan dan mencegah berbagai bentuk diskriminasi, dan membuat ketentuan bagi suatu solidaritas yang konkret juga melalui struktur yang jelas demi kenyamanan dan program-program pengaturan. Rasa saling menerima antara komunitas negara yang berbeda-beda, dan semua mereka yang telah dengan hati lapang menerima saudara yang melarikan diri, merupakan bentuk tanggung jawab antara negara.
Pers dan media lainnya mempunyai peran penting dalam pemberitaan secara tepat, objektif, dan jujur situasi dari mereka  yang ditekan untuk meninggalkan tanah airnya dan semua yang mereka kasihi  dan berkeinginan untuk membangun hidup baru.
Komunitas kristiani harus memberikan bentuk perhatian tertentu kepada para migran pekerja dan keluarganya dengan menemani mereka dalam doa, sikap solider dan karitas Kristen dengan saling memperkaya, mengembangkan sebuah politik yang baru, rencana ekonomi dan sosial yang menunjukkan respek bagi martabat setiap umat manusia, perlindungan bagi keluarga, akses rumah layak pakai, untuk berkarya dan kesejahteraan.
Para imam, biarawan-biarawati, kaum awam dan segenap muda-mudi mesti lebih peka untuk memberikan dukungan bagi saudara-saudarinya yang sedang menjauhkan diri dari kekerasan, menghadapi suatu gaya hidup dan kesulitan berintegrasi. Proklamasi penebusan Yesus Kristus sungguh menjadi sumber kelegaan, harapan dan penuh kegembiraan (Bdk. Yoh. 15:10)
Akhirnya, saya mesti menyebutkan situasi sejumlah pelajar internasional yang sedang menghadapi masalah penyatuan, kesulitan birokratis, kesulitan penginapan dan bangunan yang layak. Komunitas Kristen sungguh menjadi peka, secara khusus bagi muda-mudi yang mencari bentuk hidupnya, membutuhkan titik perbandingan demi perkembangan budaya, dan memiliki dalam hatinya kehausan mendalam akan kebenaran dan rindu berjumpa dengan Tuhan. Universitas-universitas sebagai sumber inspirasi, yang pada jalur khusus menjadi saksi dan penyebar evangelisasi, secara serius berkomitmen untuk menyumbang masyarakat, budaya, perkembangan manusia dalam lingkungan akademik. Mereka juga mempromosikan dialog antar budaya dan meningkatkan kontribusi yang dapat diberikan oleh mahasiswa internasional. Jika mereka ini menjadi sejumlah saksi dan teladan hidup kristianis Injil yang otentik,  hal ini sungguh akan mendorong mereka menjadi agen-agen evangelisasi baru.
Sahabat-sahabat terkasihku, marilah kita bersama Maria pengantara sebagai ”Bunda Pelindung”, sehingga sukacita pengabaran penebusan dalam Yesus Kristus akan memberikan  harapan dalam hati kita masing-masing dan bagi mereka yang berjalan di dunia ini. Untuk semua saya mencurahkan berkat apostolikku.   

Vatikan, 21 September 2011
   Calon Imam Keuskupan Denpasar



[1] Tulisan ini disadur dari pesan Paus Benediktus XVI untuk hari migran dan pengungsi tahun 2012  dalam majalah L’OSSERVATORE ROMANO. Number 43, Wednesday, 26 October 2011.

SEBUAH KISAH DARI PAROKI TANARAWA


(Sebuah refleksi asistensi natal 2011)
         Pada tanggal 23 Desember aku melangkah menuju medan pastoral yang belum kukenal. Berdasarkan kisah-kisah  dari mereka yang pernah ke paroki Tanarawa, bahwa medan dan situasi budaya yang akan kuhadapi harus penuh dengan hati-hati. Hal ini tentunya membuat diriku sedikit bimbang dan ragu akan keberadaanku di sana. Aneka pikiran dan kecurigaan senantiasa berkecamuk dalam diriku. Tapi karena semangat pastoral yang menggebu dalam diriku akhirnya semuannya itu bisa olah dengan baik.
            Paroki Tanarawa merupakan sebuah paroki kecil di arah Maumere Timur. Perjalanan menuju paroki Tana Rawa tepatnya di kecamatan Waiblama menempuh waktu sekitar 2 jam. Hal ini didukung dengan transportasi yang sangat minim yang hanya sekali dalam sehari berangkat menuju Tanarawa. Paroki Tanarawa dikelola oleh para imam dari biara Pasionis Nilo serta di bantu oleh sebuah komunitas kecil susteran CIJ yang beranggotakan dua suster. Secara keseluruhan Paroki Tanarawa terdiri dari 7 Stasi. Empat stasi memiliki jarak yang sangat jauh serta medan yang jalan yang sangat parah. Hanya kendaraan tertentu saja yang mampu menjangkau tempat tersebut. Sedangkan dua stasi lainnya merupakan stasi yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan dan harus rela berjalan kaki selama dua jam untuk bisa mencapai daerah tersebut. Jika dilihat dari situasi medan dan tata kehidupan maka justru pusat perkampungan terdapat di stasi luar yaitu stasi Pruda. Sedangkan stasi pusat paroki Tana Rawa merupakan  daerah yang berada di tempat terpisah yang letak rumah umat sangat jauh antara satu dengan yang lainnya.
            Sejenak berada di paroki  Tanarawa membuat aku sedikit bisa mengenal situasi kehidupan umat pada umumnya baik yang berada di stasi pusat maupun di stasi luar yang sempat kulayani. Selama pekan Natal bersama dengan romo, saya berkeliling membantu pelayanan misa dan ibadat natal di stasi pusat maupun stasi luar. Umat paroki Tana Rawa umumnya merupakan penduduk asli yaitu masyarakat Tana Ai. Situasi kehidupan masyarakat Tana Ai masih sangat terbelakang. Keadaan ini menjadi perhatian khusus dari pastor paroki dan pastor pembantu. Masyarakat Tana Ai umumnya masih hidup dalam tradisi budaya mereka. Nampak dalam kehidupan mereka poligami masih bertumbuh sangat subur. Bahkan dalam hidup berpoligami ini mereka masih percaya terhadap konsep bahwa “siapa saja yang mampu beristri hingga lima orang maka akan menjadi anak dewa”. Konsep seperti ini sampai sekarang belum berubah meskipun sudah banyak penyadaran dari pihak gereja melalui mimbar kotbah maupun melalui pemerintah. Akibat lanjut dari sistem poligami ini yaitu bertumbuh suburnya kebiasaan mencuri. Pencurian seakan menjadi hal yang biasa. Masyarakat masih belum bisa membedakan mana haknya dan mana hak orang lain, bahkan paroki pun seakan dijadikan dapur umum bagi siapa saja yang datang ke paroki.
            Kehidupan ekonomi masyarakat Tanarawa bisa dinilai berada di bawa standar. Umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani yang mengolah lahan milik orang lain. Kehidupan pendidikan anak-anak sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar anak-anak hanya menamatkan bangku SMP dan setelah itu terlanjur untuk menikah. Hal ini dianggap biasa saja oleh masyarakat dan orang tua. Namun ada pula masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi di kota Maumere. Selama berada di Tanarawa, saya menyaksikan bagaimana kisah perjuangan orang tua membiayai anak-anaknya yang bersekolah di Maumere atau di luar pulau. Umumnya kehidupan mereka sangat sederhana dengan rumah yang berlantai tanah dan beratapkan alang-alang (ibarat gubuk kecil). Namun mereka berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit di kota Maumere seperti SMA frateran dan SMA Negri 1. Mereka rela makan sehari hanya dua senduk nasi dan mereka rela untuk sejenak berhenti sekolah.  Semuannya itu demi anggota keluarga mereka yang bersekolah di kota atau di tempat lain. Ketika menyaksikan kehidupan serta penuturan yang tulus dari beberapa umat sejenak air mataku menetes. Saya mencoba membandingkan dengan diri saya. Sejauh ini hidupku selalu beruntung dan nasib baik selalu menyertaiku namun sekarang aku merasa dikalahkan oleh kehidupan serta pengorbanan  mereka yang penuh ketulusan. Ternyata hidup bukanlah sesuatu yang mudah, bukan sekedar kesenangan menerima kiriman uang dari orang tua, berbelanja, atau menghabiskan uang dengan berekreasi dan membeli benda-benda untuk koleksi dan hobi. Ternyata banyak hal yang mewarnai kehidupan. Ibarat pelagi, selama ini hanya warna putih dan merah yang kulihat, tetapi di tengah masyarakat Tanarawa aku mengenal warna jingga, hijau, biru dan ungu.
            Dalam konteks kehidupan menggereja sangat nampak bahwa umat masih belum sepenuhnya menyadari arti sebuah perayaan. Kehadiran umat pada perayaan malam natal di paroki pusat tidak mencapai 100 orang. Berbeda ketika saya bersama pastor paroki merayakan misa malam natal di salah sasatu kapela stasi luar pada pukul 21.00 di mana umat begitu setia menanti hingga kapela pun meluap. Dari kesaksian para imam bahwa semangat menggereja umat di stasi luar lebih tinggi dari pada umat di stasi pusat. Semangat ini bukan hanya dalam hal menghadiri perayaan ekaristi namun untuk segala kegiatan pastoral yang diadakan.
            Setelah hampir empat hari berada dan terlibat dalam pelayanan bersama umat di paroki Tanarawa saya seakan mulai menyadari arti pelayanan pastoral yang sesungguhnya. Asistensi natal di paroki Tanarawa seakan telah membantu saya sedikit untuk memahami dan menyadari arti panggilan saya sebagai seorang calon imam. Di mata umat paroki Tanarawa, kehadiran frater Ritapiret merupakan kado terindah bagi mereka. Sebuah kerinduan bagi mereka yang selalu terpenuhi tatkala menjelang perayaan Natal dan Paskah di mana para frater senantiasa hadir di tengah mereka dan yang mereka alami bahwa itu adalah para frater dari Ritapiret. Ada sedikit kebanggaan bagiku menyaksikan kisah pengalaman mereka. Namun saya tak bisa terbuai dalam pujian tersebut, kerinduan mereka mewakili kerinduan umat katolik umumnya akan kehadiran seorang gembala. Gereja memang tak pernah memaksa saya untuk menjadi imam, nanum ketulusan dan kerinduan umat melukiskan bahwa gereja sungguh membutuhkan imam. Kadang aku alami bahwa saat berada di tengah keramaian dan kegemerlapan dunia orang sungguh tidak menyadari arti dari kehadiran para imam dan calon imam. Namun justru di tempat seperti inilah aku justru harus berhadapan dengan situasi yang sungguh berbeda. Situasi yang menuntutku untuk selalu siap sedia berada di samping mereka dan senantiasa siap untuk membantu melayani mereka. Namun dalam situasi seperti ini aku dilema ketika harus berhadapan dengan situasi kehidupan yang sungguh lain dari mereka. Situasi kehidupan kaum muda yang selalu ingin bebas dan senang-senang. Di sinilah saya ditantang untuk bagaimana harus menyesuaikan diri. Saya tak mungkin bisa lari dan pergi begitu saja dari kebersamaan dengan mereka. Di satu sisi saya harus melawan keinginan manusiawi saya terutama keinginan saya sebagai kaum muda namun di sisi lain saya pun harus menyadari bahwa saya sebagai seorang frater. Ibarat saat ini saya kembali dari perang kecil menuju perang yang lebih besar, yakni perang melawan diri sendiri. Saya berusaha mengendalikan diri walaupun sangat sulit. Inilah tantangan yang harus saya hadapi.
            Berada di sebuah pedalaman yang terpencil yang belum dijangkau listrik dan sarana komunikasi lainnya membuat saya sungguh-sungguh mengalami suasana Betlehem bersama umat paroki Tanarawa. Suasana sunyi tanpa gangguan komunikasi apapun membuat aku sungguh merasakan ketenangan dalam pelayanan. Aku belajar banyak dari lingkungan seperti ini. Selama ini mungkin dalam komunitas aku selalu disibukan dengan barang-barang teknologi yang selalu mengganngu rutinitasku, bahkan menghambat segala tugas ku. Namun kini justru berada di tepat yang terpencil dan jauh dari komunikasi, aku seakan dapat menikmati suasana pelayanan dan kebersamaan dengan umat. Dalam kebersamaan dengan mereka aku memperoleh banyak hal baru yang kiranya dapat berguna bagi hidup dan panggilanku selanjutnya.
            Pertama, melalui asistensi natal 2011 ini saya kembali belajar berani untuk membawakan pelayanan ibadat bagi umat. Dalam konteks ini saya mencoba untuk belajar memahami situasi umat serta mampu menyusun renungan yang sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Selain itu kesempatan ini menjadi momen yang baik bagi saya untuk sedikit membagikan segala sesuatu yang berkaitan dengan liturgi kepada umat yang pada umumnya belum sepenuhnya mengetahuinya.
            Kedua, dengan diutus untuk berasistensi di paroki Tanarawa saya belajar untuk lebih menghidupi semangat perutusan Kristus. Pergi ke tempat perutusan dengan tidak membawa harta benda apapun. Di sini saya dilatih utnuk meninggalkan segala harta benda milikku, lalu terjun ke medan kehidupan umat. Di sana aku mencoba untuk turut merasakan kemiskinan yang dihadapi oleh umat setempat. Walaupun dalam kesederhanaan dan kemiskinan namun hidup mereka selalu bahagia. Hingga pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang kaya, yang berlimpah kasih sayang dan persaudaraan. Kehidupan yang tentram karena di tempat ini uang tidak menjadi dewa.
            Ketiga, partisipasi umat yang sangat minim dalam kehidupan menggereja menyadarkan saya bahwa ternyata saat ini umat lebih memilih akan hal-hal yang berbau kesenangan. Perayaan Natal bagi umat paroki Tanarawa lebih berkesan apabila segala persiapan lahiriah terpenuhi. Dalam konteks ini kesibukan dan kerelaan umat untuk ke kota maumere untuk berbelanja lebih tinggi dari pada kesibukan untuk mempersiapkan liturgi natal di gereja. Menjelang natal kendaraan ke kota maumere selalu penuh sesak, namun pada hari natal gereja tidak penuh. Ternyata umat moment natal bagi mereka ialah menyibukan diri pada altar pasar dari pada altar gereja. Hal ini tentunya menggugah hati saya yang berstatus sebagai calon imam untuk semakin berusaha keras mencoba membangkitkan kembali kesadaran umat. Mungkin selama ini saya hanya menyaksikan penghayatan hanya dengan sebelah mata, hanya seputar umat yang hidup di sekitar kota yang begitu antusian dan semangat menyambut natal di gereja. Namun ternyata di tengah pedalaman masih banyak umat yang belum sepenuhnya menyadari hal ini. Tentunya kehadiran seorang gembala di tengah mereka akan sangat membantu membalikkan kesadaran mereka.
            Keempat, kerinduan umat di pedalaman Tanarawa akan kehadiran seorang imam atau pelayan sabda, menunjukan kepada saya bahwa seorang gembala tak selamanya harus berada di depan atau di paroki saja. Namun akan lebih terasa jika mereka terjun langsung dan sejenak ada bersama umat. Pola penyadaran umat di pedalaman tidak selamanya berhasil jika hanya ditunjukan lewat kotbah-kotbah di mimbar. Pola penyadaran akan berhasil dengan baik jika para gembala sungguh mau hadir dalam segala denyut kehidupan mereka dan secara perlahan memberikan penyadaran kepada mereka.