(Sebuah refleksi asistensi natal 2011)
Pada tanggal 23 Desember aku melangkah
menuju medan pastoral yang belum kukenal. Berdasarkan kisah-kisah dari mereka yang pernah ke paroki Tanarawa, bahwa medan dan situasi budaya yang akan kuhadapi harus penuh dengan
hati-hati. Hal ini tentunya membuat diriku sedikit bimbang dan ragu akan
keberadaanku di sana. Aneka pikiran dan kecurigaan senantiasa berkecamuk dalam
diriku. Tapi karena semangat pastoral yang menggebu dalam diriku akhirnya
semuannya itu bisa olah dengan baik.
Paroki
Tanarawa merupakan sebuah paroki kecil di arah Maumere Timur. Perjalanan menuju
paroki Tana Rawa tepatnya di kecamatan Waiblama menempuh waktu sekitar 2 jam.
Hal ini didukung dengan transportasi yang sangat minim yang hanya sekali dalam
sehari berangkat menuju Tanarawa. Paroki Tanarawa dikelola oleh para imam dari
biara Pasionis Nilo serta di bantu oleh sebuah komunitas kecil susteran CIJ
yang beranggotakan dua suster. Secara keseluruhan Paroki Tanarawa terdiri dari
7 Stasi. Empat stasi memiliki jarak yang sangat jauh serta medan yang jalan
yang sangat parah. Hanya kendaraan tertentu saja yang mampu menjangkau tempat
tersebut. Sedangkan dua stasi lainnya merupakan stasi yang tidak dapat
dijangkau oleh kendaraan dan harus rela berjalan kaki selama dua jam untuk bisa
mencapai daerah tersebut. Jika dilihat dari situasi medan dan tata kehidupan
maka justru pusat perkampungan terdapat di stasi luar yaitu stasi Pruda.
Sedangkan stasi pusat paroki Tana Rawa merupakan daerah yang berada di tempat terpisah yang
letak rumah umat sangat jauh antara satu dengan yang lainnya.
Sejenak
berada di paroki Tanarawa membuat aku
sedikit bisa mengenal situasi kehidupan umat pada umumnya baik yang berada di
stasi pusat maupun di stasi luar yang sempat kulayani. Selama pekan Natal
bersama dengan romo, saya berkeliling membantu pelayanan misa dan
ibadat natal di stasi pusat maupun stasi luar. Umat paroki Tana Rawa umumnya
merupakan penduduk asli yaitu masyarakat Tana Ai. Situasi kehidupan masyarakat
Tana Ai masih sangat terbelakang. Keadaan ini menjadi perhatian khusus dari
pastor paroki dan pastor pembantu. Masyarakat Tana Ai umumnya masih hidup dalam
tradisi budaya mereka. Nampak dalam kehidupan mereka poligami masih bertumbuh
sangat subur. Bahkan dalam hidup berpoligami ini mereka masih percaya terhadap
konsep bahwa “siapa saja yang mampu beristri hingga lima orang maka akan
menjadi anak dewa”. Konsep seperti ini sampai sekarang belum berubah meskipun
sudah banyak penyadaran dari pihak gereja melalui mimbar kotbah maupun melalui pemerintah.
Akibat lanjut dari sistem poligami ini yaitu bertumbuh suburnya kebiasaan
mencuri. Pencurian seakan menjadi hal yang biasa. Masyarakat masih belum bisa membedakan
mana haknya dan mana hak orang lain, bahkan paroki pun seakan dijadikan dapur
umum bagi siapa saja yang datang ke paroki.
Kehidupan
ekonomi masyarakat Tanarawa bisa dinilai berada di bawa standar. Umumnya
masyarakat bermata pencaharian sebagai petani yang mengolah lahan milik orang
lain. Kehidupan pendidikan anak-anak sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian
besar anak-anak hanya menamatkan bangku SMP dan setelah itu terlanjur untuk
menikah. Hal ini dianggap biasa saja oleh masyarakat dan orang tua. Namun ada
pula masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi di
kota Maumere. Selama berada di Tanarawa, saya menyaksikan bagaimana kisah
perjuangan orang tua membiayai anak-anaknya yang bersekolah di Maumere atau di
luar pulau. Umumnya kehidupan mereka sangat sederhana dengan rumah yang
berlantai tanah dan beratapkan alang-alang (ibarat gubuk kecil). Namun mereka
berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit di kota Maumere
seperti SMA frateran dan SMA Negri 1. Mereka rela makan sehari hanya dua senduk
nasi dan mereka rela untuk sejenak berhenti sekolah. Semuannya itu demi anggota keluarga mereka
yang bersekolah di kota atau di tempat lain. Ketika menyaksikan kehidupan serta
penuturan yang tulus dari beberapa umat sejenak air mataku menetes. Saya
mencoba membandingkan dengan diri saya. Sejauh ini hidupku selalu beruntung dan
nasib baik selalu menyertaiku namun sekarang aku merasa dikalahkan oleh
kehidupan serta pengorbanan mereka yang
penuh ketulusan. Ternyata hidup bukanlah sesuatu yang mudah, bukan sekedar
kesenangan menerima kiriman uang dari orang tua, berbelanja, atau menghabiskan
uang dengan berekreasi dan membeli benda-benda untuk koleksi dan hobi. Ternyata
banyak hal yang mewarnai kehidupan. Ibarat pelagi, selama ini hanya warna putih
dan merah yang kulihat, tetapi di tengah masyarakat Tanarawa aku mengenal warna
jingga, hijau, biru dan ungu.
Dalam
konteks kehidupan menggereja sangat nampak bahwa umat masih belum sepenuhnya
menyadari arti sebuah perayaan. Kehadiran umat pada perayaan malam natal di
paroki pusat tidak mencapai 100 orang. Berbeda ketika saya bersama pastor
paroki merayakan misa malam natal di salah sasatu kapela stasi luar pada pukul
21.00 di mana umat begitu setia menanti hingga kapela pun meluap. Dari kesaksian
para imam bahwa semangat menggereja umat di stasi luar lebih tinggi dari pada
umat di stasi pusat. Semangat ini bukan hanya dalam hal menghadiri perayaan
ekaristi namun untuk segala kegiatan pastoral yang diadakan.
Setelah
hampir empat hari berada dan terlibat dalam pelayanan bersama umat di paroki
Tanarawa saya seakan mulai menyadari arti pelayanan pastoral yang sesungguhnya.
Asistensi natal di paroki Tanarawa seakan telah membantu saya sedikit untuk
memahami dan menyadari arti panggilan saya sebagai seorang calon imam. Di mata
umat paroki Tanarawa, kehadiran frater Ritapiret merupakan kado terindah bagi
mereka. Sebuah kerinduan bagi mereka yang selalu terpenuhi tatkala menjelang
perayaan Natal dan Paskah di mana para frater senantiasa hadir di tengah mereka
dan yang mereka alami bahwa itu adalah para frater dari Ritapiret. Ada sedikit
kebanggaan bagiku menyaksikan kisah pengalaman mereka. Namun saya tak bisa
terbuai dalam pujian tersebut, kerinduan mereka mewakili kerinduan umat katolik
umumnya akan kehadiran seorang gembala. Gereja memang tak pernah memaksa saya
untuk menjadi imam, nanum ketulusan dan kerinduan umat
melukiskan bahwa gereja sungguh membutuhkan imam. Kadang aku alami bahwa saat berada di tengah keramaian dan kegemerlapan
dunia orang sungguh tidak menyadari arti dari kehadiran para imam dan calon
imam. Namun justru di tempat seperti inilah aku justru harus berhadapan dengan
situasi yang sungguh berbeda. Situasi yang menuntutku untuk selalu siap sedia
berada di samping mereka dan senantiasa siap untuk membantu melayani mereka.
Namun dalam situasi seperti ini aku dilema ketika harus berhadapan dengan
situasi kehidupan yang sungguh lain dari mereka. Situasi kehidupan kaum muda
yang selalu ingin bebas dan senang-senang. Di sinilah saya ditantang untuk
bagaimana harus menyesuaikan diri. Saya tak mungkin bisa lari dan pergi begitu
saja dari kebersamaan dengan mereka. Di satu sisi saya harus melawan keinginan
manusiawi saya terutama keinginan saya sebagai kaum muda namun di sisi lain
saya pun harus menyadari bahwa saya sebagai seorang frater. Ibarat saat ini
saya kembali dari perang kecil menuju perang yang lebih besar, yakni perang
melawan diri sendiri. Saya berusaha mengendalikan diri walaupun sangat sulit.
Inilah tantangan yang harus saya hadapi.
Berada di
sebuah pedalaman yang terpencil yang belum dijangkau listrik dan sarana
komunikasi lainnya membuat saya sungguh-sungguh mengalami suasana Betlehem
bersama umat paroki Tanarawa. Suasana sunyi tanpa gangguan komunikasi apapun
membuat aku sungguh merasakan ketenangan dalam pelayanan. Aku belajar banyak
dari lingkungan seperti ini. Selama ini mungkin dalam komunitas aku selalu
disibukan dengan barang-barang teknologi yang selalu mengganngu rutinitasku,
bahkan menghambat segala tugas ku. Namun kini justru berada di tepat yang
terpencil dan jauh dari komunikasi, aku seakan dapat menikmati suasana
pelayanan dan kebersamaan dengan umat. Dalam kebersamaan dengan mereka aku
memperoleh banyak hal baru yang kiranya dapat berguna bagi hidup dan
panggilanku selanjutnya.
Pertama, melalui asistensi natal 2011
ini saya kembali belajar berani untuk membawakan pelayanan ibadat bagi umat.
Dalam konteks ini saya mencoba untuk belajar memahami situasi umat serta mampu
menyusun renungan yang sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Selain itu
kesempatan ini menjadi momen yang baik bagi saya untuk sedikit membagikan
segala sesuatu yang berkaitan dengan liturgi kepada umat yang pada umumnya
belum sepenuhnya mengetahuinya.
Kedua, dengan diutus untuk berasistensi
di paroki Tanarawa saya belajar untuk lebih menghidupi semangat perutusan
Kristus. Pergi ke tempat perutusan dengan tidak membawa harta benda apapun. Di
sini saya dilatih utnuk meninggalkan segala harta benda milikku, lalu terjun ke
medan kehidupan umat. Di sana aku mencoba untuk turut merasakan kemiskinan yang
dihadapi oleh umat setempat. Walaupun dalam kesederhanaan dan kemiskinan namun
hidup mereka selalu bahagia. Hingga pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa
sesungguhnya mereka adalah orang-orang kaya, yang berlimpah kasih sayang dan
persaudaraan. Kehidupan yang tentram karena di tempat ini uang tidak menjadi
dewa.
Ketiga, partisipasi umat yang sangat
minim dalam kehidupan menggereja menyadarkan saya bahwa ternyata saat ini umat
lebih memilih akan hal-hal yang berbau kesenangan. Perayaan Natal bagi umat
paroki Tanarawa lebih berkesan apabila segala persiapan lahiriah terpenuhi.
Dalam konteks ini kesibukan dan kerelaan umat untuk ke kota maumere untuk
berbelanja lebih tinggi dari pada kesibukan untuk mempersiapkan liturgi natal
di gereja. Menjelang natal kendaraan ke kota maumere selalu penuh sesak, namun
pada hari natal gereja tidak penuh. Ternyata umat moment natal bagi mereka
ialah menyibukan diri pada altar pasar dari pada altar gereja. Hal ini tentunya
menggugah hati saya yang berstatus sebagai calon imam untuk semakin berusaha
keras mencoba membangkitkan kembali kesadaran umat. Mungkin selama ini saya
hanya menyaksikan penghayatan hanya dengan sebelah mata, hanya seputar umat
yang hidup di sekitar kota yang begitu antusian dan semangat menyambut natal di
gereja. Namun ternyata di tengah pedalaman masih banyak umat yang belum
sepenuhnya menyadari hal ini. Tentunya kehadiran seorang gembala di tengah
mereka akan sangat membantu membalikkan kesadaran mereka.
Keempat, kerinduan umat di pedalaman
Tanarawa akan kehadiran seorang imam atau pelayan sabda, menunjukan kepada saya
bahwa seorang gembala tak selamanya harus berada di depan atau di paroki saja.
Namun akan lebih terasa jika mereka terjun langsung dan sejenak ada bersama
umat. Pola penyadaran umat di pedalaman tidak selamanya berhasil jika hanya
ditunjukan lewat kotbah-kotbah di mimbar. Pola penyadaran akan berhasil dengan
baik jika para gembala sungguh mau hadir dalam segala denyut kehidupan mereka
dan secara perlahan memberikan penyadaran kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar