Laman

Minggu, 01 April 2012

SEBUAH KISAH DARI PAROKI TANARAWA


(Sebuah refleksi asistensi natal 2011)
         Pada tanggal 23 Desember aku melangkah menuju medan pastoral yang belum kukenal. Berdasarkan kisah-kisah  dari mereka yang pernah ke paroki Tanarawa, bahwa medan dan situasi budaya yang akan kuhadapi harus penuh dengan hati-hati. Hal ini tentunya membuat diriku sedikit bimbang dan ragu akan keberadaanku di sana. Aneka pikiran dan kecurigaan senantiasa berkecamuk dalam diriku. Tapi karena semangat pastoral yang menggebu dalam diriku akhirnya semuannya itu bisa olah dengan baik.
            Paroki Tanarawa merupakan sebuah paroki kecil di arah Maumere Timur. Perjalanan menuju paroki Tana Rawa tepatnya di kecamatan Waiblama menempuh waktu sekitar 2 jam. Hal ini didukung dengan transportasi yang sangat minim yang hanya sekali dalam sehari berangkat menuju Tanarawa. Paroki Tanarawa dikelola oleh para imam dari biara Pasionis Nilo serta di bantu oleh sebuah komunitas kecil susteran CIJ yang beranggotakan dua suster. Secara keseluruhan Paroki Tanarawa terdiri dari 7 Stasi. Empat stasi memiliki jarak yang sangat jauh serta medan yang jalan yang sangat parah. Hanya kendaraan tertentu saja yang mampu menjangkau tempat tersebut. Sedangkan dua stasi lainnya merupakan stasi yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan dan harus rela berjalan kaki selama dua jam untuk bisa mencapai daerah tersebut. Jika dilihat dari situasi medan dan tata kehidupan maka justru pusat perkampungan terdapat di stasi luar yaitu stasi Pruda. Sedangkan stasi pusat paroki Tana Rawa merupakan  daerah yang berada di tempat terpisah yang letak rumah umat sangat jauh antara satu dengan yang lainnya.
            Sejenak berada di paroki  Tanarawa membuat aku sedikit bisa mengenal situasi kehidupan umat pada umumnya baik yang berada di stasi pusat maupun di stasi luar yang sempat kulayani. Selama pekan Natal bersama dengan romo, saya berkeliling membantu pelayanan misa dan ibadat natal di stasi pusat maupun stasi luar. Umat paroki Tana Rawa umumnya merupakan penduduk asli yaitu masyarakat Tana Ai. Situasi kehidupan masyarakat Tana Ai masih sangat terbelakang. Keadaan ini menjadi perhatian khusus dari pastor paroki dan pastor pembantu. Masyarakat Tana Ai umumnya masih hidup dalam tradisi budaya mereka. Nampak dalam kehidupan mereka poligami masih bertumbuh sangat subur. Bahkan dalam hidup berpoligami ini mereka masih percaya terhadap konsep bahwa “siapa saja yang mampu beristri hingga lima orang maka akan menjadi anak dewa”. Konsep seperti ini sampai sekarang belum berubah meskipun sudah banyak penyadaran dari pihak gereja melalui mimbar kotbah maupun melalui pemerintah. Akibat lanjut dari sistem poligami ini yaitu bertumbuh suburnya kebiasaan mencuri. Pencurian seakan menjadi hal yang biasa. Masyarakat masih belum bisa membedakan mana haknya dan mana hak orang lain, bahkan paroki pun seakan dijadikan dapur umum bagi siapa saja yang datang ke paroki.
            Kehidupan ekonomi masyarakat Tanarawa bisa dinilai berada di bawa standar. Umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani yang mengolah lahan milik orang lain. Kehidupan pendidikan anak-anak sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar anak-anak hanya menamatkan bangku SMP dan setelah itu terlanjur untuk menikah. Hal ini dianggap biasa saja oleh masyarakat dan orang tua. Namun ada pula masyarakat yang menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi di kota Maumere. Selama berada di Tanarawa, saya menyaksikan bagaimana kisah perjuangan orang tua membiayai anak-anaknya yang bersekolah di Maumere atau di luar pulau. Umumnya kehidupan mereka sangat sederhana dengan rumah yang berlantai tanah dan beratapkan alang-alang (ibarat gubuk kecil). Namun mereka berusaha untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit di kota Maumere seperti SMA frateran dan SMA Negri 1. Mereka rela makan sehari hanya dua senduk nasi dan mereka rela untuk sejenak berhenti sekolah.  Semuannya itu demi anggota keluarga mereka yang bersekolah di kota atau di tempat lain. Ketika menyaksikan kehidupan serta penuturan yang tulus dari beberapa umat sejenak air mataku menetes. Saya mencoba membandingkan dengan diri saya. Sejauh ini hidupku selalu beruntung dan nasib baik selalu menyertaiku namun sekarang aku merasa dikalahkan oleh kehidupan serta pengorbanan  mereka yang penuh ketulusan. Ternyata hidup bukanlah sesuatu yang mudah, bukan sekedar kesenangan menerima kiriman uang dari orang tua, berbelanja, atau menghabiskan uang dengan berekreasi dan membeli benda-benda untuk koleksi dan hobi. Ternyata banyak hal yang mewarnai kehidupan. Ibarat pelagi, selama ini hanya warna putih dan merah yang kulihat, tetapi di tengah masyarakat Tanarawa aku mengenal warna jingga, hijau, biru dan ungu.
            Dalam konteks kehidupan menggereja sangat nampak bahwa umat masih belum sepenuhnya menyadari arti sebuah perayaan. Kehadiran umat pada perayaan malam natal di paroki pusat tidak mencapai 100 orang. Berbeda ketika saya bersama pastor paroki merayakan misa malam natal di salah sasatu kapela stasi luar pada pukul 21.00 di mana umat begitu setia menanti hingga kapela pun meluap. Dari kesaksian para imam bahwa semangat menggereja umat di stasi luar lebih tinggi dari pada umat di stasi pusat. Semangat ini bukan hanya dalam hal menghadiri perayaan ekaristi namun untuk segala kegiatan pastoral yang diadakan.
            Setelah hampir empat hari berada dan terlibat dalam pelayanan bersama umat di paroki Tanarawa saya seakan mulai menyadari arti pelayanan pastoral yang sesungguhnya. Asistensi natal di paroki Tanarawa seakan telah membantu saya sedikit untuk memahami dan menyadari arti panggilan saya sebagai seorang calon imam. Di mata umat paroki Tanarawa, kehadiran frater Ritapiret merupakan kado terindah bagi mereka. Sebuah kerinduan bagi mereka yang selalu terpenuhi tatkala menjelang perayaan Natal dan Paskah di mana para frater senantiasa hadir di tengah mereka dan yang mereka alami bahwa itu adalah para frater dari Ritapiret. Ada sedikit kebanggaan bagiku menyaksikan kisah pengalaman mereka. Namun saya tak bisa terbuai dalam pujian tersebut, kerinduan mereka mewakili kerinduan umat katolik umumnya akan kehadiran seorang gembala. Gereja memang tak pernah memaksa saya untuk menjadi imam, nanum ketulusan dan kerinduan umat melukiskan bahwa gereja sungguh membutuhkan imam. Kadang aku alami bahwa saat berada di tengah keramaian dan kegemerlapan dunia orang sungguh tidak menyadari arti dari kehadiran para imam dan calon imam. Namun justru di tempat seperti inilah aku justru harus berhadapan dengan situasi yang sungguh berbeda. Situasi yang menuntutku untuk selalu siap sedia berada di samping mereka dan senantiasa siap untuk membantu melayani mereka. Namun dalam situasi seperti ini aku dilema ketika harus berhadapan dengan situasi kehidupan yang sungguh lain dari mereka. Situasi kehidupan kaum muda yang selalu ingin bebas dan senang-senang. Di sinilah saya ditantang untuk bagaimana harus menyesuaikan diri. Saya tak mungkin bisa lari dan pergi begitu saja dari kebersamaan dengan mereka. Di satu sisi saya harus melawan keinginan manusiawi saya terutama keinginan saya sebagai kaum muda namun di sisi lain saya pun harus menyadari bahwa saya sebagai seorang frater. Ibarat saat ini saya kembali dari perang kecil menuju perang yang lebih besar, yakni perang melawan diri sendiri. Saya berusaha mengendalikan diri walaupun sangat sulit. Inilah tantangan yang harus saya hadapi.
            Berada di sebuah pedalaman yang terpencil yang belum dijangkau listrik dan sarana komunikasi lainnya membuat saya sungguh-sungguh mengalami suasana Betlehem bersama umat paroki Tanarawa. Suasana sunyi tanpa gangguan komunikasi apapun membuat aku sungguh merasakan ketenangan dalam pelayanan. Aku belajar banyak dari lingkungan seperti ini. Selama ini mungkin dalam komunitas aku selalu disibukan dengan barang-barang teknologi yang selalu mengganngu rutinitasku, bahkan menghambat segala tugas ku. Namun kini justru berada di tepat yang terpencil dan jauh dari komunikasi, aku seakan dapat menikmati suasana pelayanan dan kebersamaan dengan umat. Dalam kebersamaan dengan mereka aku memperoleh banyak hal baru yang kiranya dapat berguna bagi hidup dan panggilanku selanjutnya.
            Pertama, melalui asistensi natal 2011 ini saya kembali belajar berani untuk membawakan pelayanan ibadat bagi umat. Dalam konteks ini saya mencoba untuk belajar memahami situasi umat serta mampu menyusun renungan yang sesuai dengan konteks kehidupan mereka. Selain itu kesempatan ini menjadi momen yang baik bagi saya untuk sedikit membagikan segala sesuatu yang berkaitan dengan liturgi kepada umat yang pada umumnya belum sepenuhnya mengetahuinya.
            Kedua, dengan diutus untuk berasistensi di paroki Tanarawa saya belajar untuk lebih menghidupi semangat perutusan Kristus. Pergi ke tempat perutusan dengan tidak membawa harta benda apapun. Di sini saya dilatih utnuk meninggalkan segala harta benda milikku, lalu terjun ke medan kehidupan umat. Di sana aku mencoba untuk turut merasakan kemiskinan yang dihadapi oleh umat setempat. Walaupun dalam kesederhanaan dan kemiskinan namun hidup mereka selalu bahagia. Hingga pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang kaya, yang berlimpah kasih sayang dan persaudaraan. Kehidupan yang tentram karena di tempat ini uang tidak menjadi dewa.
            Ketiga, partisipasi umat yang sangat minim dalam kehidupan menggereja menyadarkan saya bahwa ternyata saat ini umat lebih memilih akan hal-hal yang berbau kesenangan. Perayaan Natal bagi umat paroki Tanarawa lebih berkesan apabila segala persiapan lahiriah terpenuhi. Dalam konteks ini kesibukan dan kerelaan umat untuk ke kota maumere untuk berbelanja lebih tinggi dari pada kesibukan untuk mempersiapkan liturgi natal di gereja. Menjelang natal kendaraan ke kota maumere selalu penuh sesak, namun pada hari natal gereja tidak penuh. Ternyata umat moment natal bagi mereka ialah menyibukan diri pada altar pasar dari pada altar gereja. Hal ini tentunya menggugah hati saya yang berstatus sebagai calon imam untuk semakin berusaha keras mencoba membangkitkan kembali kesadaran umat. Mungkin selama ini saya hanya menyaksikan penghayatan hanya dengan sebelah mata, hanya seputar umat yang hidup di sekitar kota yang begitu antusian dan semangat menyambut natal di gereja. Namun ternyata di tengah pedalaman masih banyak umat yang belum sepenuhnya menyadari hal ini. Tentunya kehadiran seorang gembala di tengah mereka akan sangat membantu membalikkan kesadaran mereka.
            Keempat, kerinduan umat di pedalaman Tanarawa akan kehadiran seorang imam atau pelayan sabda, menunjukan kepada saya bahwa seorang gembala tak selamanya harus berada di depan atau di paroki saja. Namun akan lebih terasa jika mereka terjun langsung dan sejenak ada bersama umat. Pola penyadaran umat di pedalaman tidak selamanya berhasil jika hanya ditunjukan lewat kotbah-kotbah di mimbar. Pola penyadaran akan berhasil dengan baik jika para gembala sungguh mau hadir dalam segala denyut kehidupan mereka dan secara perlahan memberikan penyadaran kepada mereka.

Tidak ada komentar: