Penginjil Lukas menghadirkan kisah dramatis kematian Tuhan
Yesus. Kematian Tuhan bukan hanya merobaek-robek hati pengikut setianya, tetapi
serentak juga meminta penjelasan dari alam. Kegelapan meliputi daerah itu,
tabir bait suci terbelah dua, dan terdengarlah ungkapan hati yang jujur dari
kepala pasukan, “sungguh orang ini adalah anak Allah”. Tuhan mati mengenaskan
di tiang salaib. Inikah kesalahan
terbesar orang Yahudi karena telah membunuh Tuhan? Atau kebebalan hati yang
tidak tertembus belas kasih dari serdadu Romawi? Lalu apakah kejadian 2000
tahun silam juga tidak diakibatkan oleh dusta zaman ini? Apakah kita berayun
bebas melemparkan tanggung jawab dan menimpahkan kesalahan, murni kepada bangsa
Yahudi dan serdadu Romawi? Klaim kita…kita bukan pembunuh tapi murid-murid-Nya.
Kitalah yang menurunkan Tuhan dari salib, memandikan-Nya dengan air mata kita,
menguburkan-NYa, dan menantikan kegemilangan kebangkitan-Nya.
Dan
kita? Kita adalah murid-murid Tuhan yang berdiri jauh itu, yang tidak menyadari
diri bahwa kita jugalah pembunuh-Nya. Memang kematian Tuhan lebih karena cinta. Memang cinta Tuhan
mesti berakhir pada salib. Cinta adalah salib. Tetapi kita juga harus menyadari
bahwa kita juga ikut bertangung jawab atas kematian Tuhan. Kita telah membunuh
Tuhan karena menganggap diri sujci lalu memisahkan diri dari orang berdosa yang
mau bertobat. Kita adalah pembunuh Tuhan ketika kita berseru nyaring
perihal cinta kasih padahal kita mengabaikan orang miskin, lemah, menderita
yang lalu-lalang di depan kita, di sekitar kita. Kita telah menusuk hati Tuhan
ketika kita mengajarkan kepada orang lain agar merawat orang sakit, membalut
luka mereka, membersihkan penyakit sosial. Sedangkan kita sendiri tidak pernah
menyentuhnya. Ya…kita, calon imam dan imam, semua warga komunitas Rita, semua
yang hadir pada sore ini. Tuhan pernah bilang, “segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang saudaraku
yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Kita mungkin juga
telah menguburkan Tuhan ketika kita tetap mempertahankan kemunafikan hanya
untuk citra diri, gengsi, yang sebenarnya tidak kita restui. Hinggal kita menilai
apakah Nietszche salah…atau mungkin, dia
benar bahwa kita telah membunuh Tuhan dengan laku kita.(Safan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar