Laman

Selasa, 13 Maret 2012

SALIB ADALAH CINTA



Penginjil  Lukas  menghadirkan kisah dramatis kematian Tuhan Yesus. Kematian Tuhan bukan hanya merobaek-robek hati pengikut setianya, tetapi serentak juga meminta penjelasan dari alam. Kegelapan meliputi daerah itu, tabir bait suci terbelah dua, dan terdengarlah ungkapan hati yang jujur dari kepala pasukan, “sungguh orang ini adalah anak Allah”. Tuhan mati mengenaskan di tiang salaib. Inikah  kesalahan terbesar orang Yahudi karena telah membunuh Tuhan? Atau kebebalan hati yang tidak tertembus belas kasih dari serdadu Romawi? Lalu apakah kejadian 2000 tahun silam juga tidak diakibatkan oleh dusta zaman ini? Apakah kita berayun bebas melemparkan tanggung jawab dan menimpahkan kesalahan, murni kepada bangsa Yahudi dan serdadu Romawi? Klaim kita…kita bukan pembunuh tapi murid-murid-Nya. Kitalah yang menurunkan Tuhan dari salib, memandikan-Nya dengan air mata kita, menguburkan-NYa, dan menantikan kegemilangan kebangkitan-Nya.

            St. Lukas melukiskan, Tuhan sangat sendiri dalam kematianNya. Bahkan semua orng yang mengenal Yesus dari dekat, termasuk perempuan-perempuan yang mengikuti Dia dari Galilea, berdiri jauh-jauh ketika menyaksikan Tuhan mati, pelan-pelan dan mengenaskan. Mereka tidak pernanh mendampingi-Nya  begitu dekat di saat-saat terakhir hidup-Nya. Mereka berdiri sangat jauh bahkan tidak mendengar teriakan Tuhan yang nyaring kepada Bapa-Nya. Bahkan mereka memisahkan dirinya dari pembunuh yang mungkin bertobat, yang menyaksikan kematian Tuhan sangat dekat, yang memukul-mukul diri mereka, yang menyadari  bahwa diri mereka juga adalah pembunuh.
            Dan kita? Kita adalah murid-murid Tuhan yang berdiri jauh itu, yang tidak menyadari diri bahwa kita jugalah pembunuh-Nya. Memang kematian  Tuhan lebih karena cinta. Memang cinta Tuhan mesti berakhir pada salib. Cinta adalah salib. Tetapi kita juga harus menyadari bahwa kita juga ikut bertangung jawab atas kematian Tuhan. Kita telah membunuh Tuhan karena menganggap diri sujci lalu memisahkan diri dari orang berdosa yang mau bertobat. Kita adalah pembunuh Tuhan ketika kita berseru  nyaring  perihal cinta kasih padahal kita mengabaikan orang miskin, lemah, menderita yang lalu-lalang di depan kita, di sekitar kita. Kita telah menusuk hati Tuhan ketika kita mengajarkan kepada orang lain agar merawat orang sakit, membalut luka mereka, membersihkan penyakit sosial. Sedangkan kita sendiri tidak pernah menyentuhnya. Ya…kita, calon imam dan imam, semua warga komunitas Rita, semua yang hadir pada sore ini. Tuhan pernah bilang, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang  saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Kita mungkin juga telah menguburkan Tuhan ketika kita tetap mempertahankan kemunafikan hanya untuk citra diri, gengsi, yang sebenarnya tidak kita restui. Hinggal kita menilai apakah Nietszche salah…atau mungkin, dia  benar bahwa kita telah membunuh Tuhan dengan laku kita.(Safan)


Tidak ada komentar: