Tapak-tapak Golgota membias kenangan. Air mata
wanita-wanita Yerusalem mengalir tak terbendung. Teriris hati mereka menatap
Yesus telanjang dada dengan bilur sekucur tubuh, dikawal prajurit berderet dengan cambuk dan cemeti,
sembari memikul salib menuju Bukit Kalvari. Sungguh, mereka tak sudi
menyaksikan kengerian ini. Mereka tak tahu harus mengatakan apa tentang
getar-getar perasaan mereka, tentang rasa duka dan solidaritas mereka terhadap
penderitaan Sang Almasih. Yang ada hanyalah kepasrahan. Kepasrahan cinta para
wanita Yerusalem yang letih dan gerah, yang tak berdaya dan tak punya kuasa
untuk melawan para penguasa lalim dan para sedadu bengis yang telah mempertontonkan episode penderitaan
yang sungguh tidak berprikemanusiaan.
Yesus menanggapi rasa iba dan mendengar ratapan
mereka. Dia tak mau kita terlarut dalam
rasa duka yang berkepanjangan, mengharukan, menggetarkan dan menusuk nurani
kemanusiaan kita. “Jangan kamu menangisi
Aku, tetapi tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu”. Nasihat yang
diperdengarkan kepada para wanita ini merupakan kritikan pedas untuk kita.
Dengan ini Yesus menginginkan kita menangisi atau menyadari dosa kita. Kita
berbalik dari dosa, yang berarti merubah sikap batin dan pandangan hidup,
melepaskan masa silam yang kelabu, mengakui kesalahan-kesalahan, menghilangkan
nilai-nilai yang dihayati secara palsu, membebaskan diri dari keterkungkungan
diri yang egoistis dan egosentris, melenyapkan sikap pasrah terhadap kenyataan
ketakberdayaan yang diperdayakan, membebaskan dari ikatan yang tidak berkenan
kepada Tuhan, yang berlawanan dengan tuntutan Ilahi. FR. ISTO DUA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar